Kebijakan pemerintah untuk meliberalisasikan pendidikan dikritik dan dikecam keras oleh sebagian besar pembicara dalam Konferensi Nasional Pendidikan Nasional dalam Arus Neoliberalisme di Bandung, yang berakhir Minggu (15/5) malam. Liberalisme dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan
Sejumlah pembicara juga menyerukan dibentuknya jaringan dan kekuatan bersama untuk menentang upaya-upaya pemerintah melakukan liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan.
Anggota Komnas HAM Dr Habib Chirzin menilai, negara telah gagal memenuhi kewajiban dalam pendidikan yang menjadi hak dasar warga negara, bahkan dalam penyediaan anggaran pendidikan sekalipun. Chirzin mengingatkan bahwa kewajiban pemerintah mengalokasikan 20 persen dana dari APBN merupakan kewajiban minimal yang harus dipenuhi, bukan suatu hal yang dicita-citakan.
Komodifikasi pendidikan, menurut Chirzin, akan memarjinalisasikan rakyat miskin. Padahal, konstitusi mewajibkan negara untuk menyediakan pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi secara ekonomi. Hak atas pendidikan, kata Chirzin, merupakan hak asasi manusia yang menjadi prasyarat pelaksanaan hak asasi manusia lainnya, seperti hak sosial dan hak politik warga negara.
"Pengingkaran hak atas pendidikan akan mengakibatkan seseorang tidak bisa sekolah, tidak bisa mengembangkan diri, tidak bisa bekerja, dan teralienasi dari skema-skema sosial," kata Chirzin, alumnus Pondok Pesantren Gontor.
Pakar ekonomi Prof Dr Sri- Edi Swasono mengemukakan, liberalisme pendidikan merupakan bagian dari Komitmen
"Bila liberalisme pendidikan dilakukan, 30 tahun lagi bangsa
Komoditas = hukum pasar
Ekonom Ichsanuddin Noorsy juga mengemukakan keprihatinannya atas kegagalan negara memenuhi kewajibannya dalam bidang pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah pusat maupun daerah tidak sesuai dengan konstitusi. Dari sebuah studi yang dilakukan di 100 kabupaten/kota, realisasi anggaran pemerintah daerah pada 2001 rata-rata hanya 3,4 persen. Jauh dari angka 20 persen yang diamanatkan konstitusi.
Menurut Ichsanuddin, bila pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, pendidikan akan diatur sesuai hukum pasar. Meningkatnya permintaan pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. "Akhirnya, hanya orang kaya yang bisa bersekolah," ujarnya.
Beasiswa untuk orang miskin atau subsidi silang, kata Ichsanuddin, merupakan program karitatif dalam sistem neoliberal. Program karikatif menunjukkan kegagalan sistem ekonomi neoliberal. Dalam praktiknya, jumlah siswa yang diberi beasiswa amat sedikit dan orang miskin belum-belum ketakutan untuk mencoba masuk sekolah dan perguruan tinggi yang mahal.
"Liberalisme pendidikan merupakan kebijakan yang menjual kedaulatan bangsa untuk menjadikan rakyatnya cerdas," kata Ichsanuddin.
Advokasi pendidikan
Rektor Universitas Islam Negeri Malang Prof Dr Imam Suprayogo menilai, pendidikan selama ini tidak diurus secara serius sehingga terus merosot. Kemerosotan mutu pendidikan itu juga terjadi di perguruan tinggi. Mutu pendidikan tinggi dengan kuliah reguler pun rendah, kini perguruan tinggi berlomba-lomba membuka program ekstensi malam, kelas Sabtu-Minggu, bahkan tanpa kuliah tatap muka sama sekali.
Imam mengemukakan, pendidikan sebaiknya tidak diliberalisasi. Kebijakan yang seharusnya diambil pemerintah adalah melakukan advokasi pendidikan dengan membenahi gedung-gedung sekolah yang ambruk, meningkatkan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya. Liberalisasi pendidikan bisa saja dilakukan, tetapi hanya pada kelompok masyarakat tertentu yang mampu.
Aktivis perempuan Dr Musda Mulia mengemukakan perlunya perubahan total visi pendidikan di