Demokrasi sebagai produk budaya, menurut Marx manusia dapat dipahami apabila manusia itu masih berada di dalam konteks sejarah nya. Memaknai ide awal demokrasi dalam konteks sejarah, agaknya semua sepakat bahwa demokrasi digagas pemikir yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles yang awalnya disebut demokratia. Memaknai sebuah ide demokrasi di era itu nyatanya juga tidak lepas dari sebuah konteks sejarah Yunani pada waktu itu yang didominasi oleh para pemikir atau intelektual yang disebut sebagai filoshof atau shopis. Sehingga tak heran ide demokrasi era itu dalam analisi hari ini lebih dekat jika disebut sebagai Aristokrasi daripada demokrasi.
Logika yang diekspresikan demokrasi modern mengandung prinsip-prinsip mendasar, seperti adanya unsur kedaulatan rakyat, pemerintahan mayoritas, perlindungan minoritas, kemerdekaan yang dijamin UU, partisipasi warga, persamaan hak, dan sebagainya. Nilai-nilai mendasar inilah yang kemudian menjadi nilai universal dari demokrasi.
Ternyata, upaya demokratisasi di tengah arus globalisasi meniscayakan sebuah proses kontekstualitas. Banyak pemikir postmodern melakukan kritik seperti Bernard Murchland dan Thomas Charlyle terhadap ide demokrasi yang pada perkembangannya telah terjebak sebuah institusionalisasi dan menjadi proyek globalisasi (Arif, 2000). Menempatkan demokrasi sebagai nilai yang bisa diletakkan konteks sosial budaya pada basis sosial tertentu adalah sebuah pilihan yang arif dalam melakukan upaya demokratisasi. Dan penilaian apakah demokratis atau tidak terhadap sebuah komunitas, termasuk negara, tidak bisa dilakukan dengan mengkesampingkan faktor sosiokultur yang secara historis dialami oleh sebuah komunitas atau bangsa yang bersangkutan.
Demokrasi hari ini berada dalam dua arus yang nampaknya kontradiktif namun terjadi dalam dimensi yang sama. Pertama, arus kekuatan daya atur dan formasi global yang mengkonstruksi masyarakat menjadi masyarakat jaringan (meminjam istilah Manuel Castells, 2001). Hal itu ditandai dengan kecenderungan pada sebagian masyarakat Indonesia untuk memilih menjadi bagian dari warga (jaringan) dunia. Hal ini dampak dari derap globalisasi dunia, dan pasar bebas yang mensayaratkan adanya masyarkat dan bangsa yang terbuka. Dalam arus ini kemudian sering kali proyek demokratisasi terjebak dalam praktik hegemoni bahkan kolonialisasi. Demokrasi kemudian menjadi sebuah agama baru, sebagai sebuah teks kebenaran yang bersifat universal bagi semua. Penolakan terhadap demokrasi, adalah akan musnah.
Pada kenyataan ini demokrasi berada pada simpang jalan antara lokalitas dan universalitas. Gerakan demokratisasi kemudian harus bisa secara faktual menempakan dirinya sebagai nilai universal yang bisa menjembatani dan mendudukkan berbagai pluralitas dalam panggung kebersamaan dan keadilan, dan disisi lain juga harus ‘tau diri’ untuk berpijak pada bumi dimana dia tumbuh. Pada akhirnya humanitas dan multikulturalisme menjadi prinsip yang bisa menjembatani dua arus itu.
Proses demokrasi tradisional sudah tumbuh dan berjalan di masyarakat pedesaan Jawa. Jauh sebelum pemerintah mencanangkan pilkada langsung. Secara tradisional, adat-istiadat mengatur masyarakat pedesaan Jawa, menurut adat istiadat, penduduk desa berhak memilih kepala desanya sendiri, dan menggantinya kalau perbuatan kepala desa tersebut tidak memuaskan kepala desa. Demokrasi Jawa sebenarnya sangat mengandalkan pada ketergantungan ekonomis akan tetapi dalam titik yang relatif. Artinya kekayaan tidak harus dibagi secara merata tetapi ada norma-norma sosial yang menghalangi adanya polarisasi kekayaan secara besar.
Malang yang merupakan peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Peninggalan yang lebih tua seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo Wajakensis) adalah bukti arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan adanya suatu peradaban. Peninggalan purbakala disekitar wilayah Malang seperti Prasasti Dinoyo (760 Masehi), Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal dan benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja, menunjukkan bahwa Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara kontinyu. Karenanya wilayah Malang termasuk daerah di Indonesia yang beruntung memiliki sejarah perjalanan yang panjang dan setidaknya ada dua prestasi yang belum tentu dimiliki oleh daerah lain yaitu Malang merupakan tempat sejarah sekaligus pusat peradaban.
Malang Raya sebagai sebuah entitas historis yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai entitas satu dengan lainnya, maka Malang Raya dapat dipandang sebuah satu kesatuan kesejarahan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak senantiasa bahwa suatu peristiwa yang terjadi di Malang Raya pada masa lalu berada di dalam kesendirian, dalam arti tanpa adanya kaitan sama sekali dengan peristiwa lain yang mendahului, yang menyertai, atau yang terjadi kemudian. Korelasi antar peristiwa – tidak terkecuali dalam beristiwa masa lalu – adalah kenyataan yang tidak sedikit dijumpai dalam perjalanan sejarah di Malang Raya. Malang Raya sangat terkait dengan daerah lain, bahkan bisa dikatakan perjalanan dari entitas tersebut dalam masa suatu pemerintahan pernah berada dalam satu administrasi pemerintahan. Dan perilaku antar manusia di Malang Raya, baik secara individu maupun sebagai kelompok memiliki hubungan sejarah yang sangat erat baik dalam sosial, budaya dan religi.
Sikap budaya dari warga Malang menggambarkan sikap budaya yang terbelah – meminjam istilah “Split Personality (Kepribadian terbelah)” di dalam Psikologi. Ada kalanya sikap budaya mereka akomodatif, seperti terbuka bagi masuk dan berkembangnya budaya lain, kesediaan hidup berdampingan secara damai dengan warga budaya lain yang berbeda, toleran keterhadap perbedaan budaya di sekitarnya, dan sebagainya.
Namun ada kalanya mereka bersikap tertutup terhadap kemungkinan masuknya budaya lain, atau bahkan destruktif terhadap budaya lain yang berlainan dengannya. Sikap budaya yang demikian kurang relevan dengan realitas budaya di kawasan Malang yang heterogen. Mohammad Hatta pernah menulis bahwa di desa-desa sistem yamg demokratis masih kuat hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah kepemilikan tanah yang komunal, yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu mengadakan kegaiatan ekonomi.
Dengan demikian, struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesaia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa (Najib, 1996).
Ide awal demokrasi adalah menuntut pengikutsertaan rakyat dalam persetujuan umum dalam pencapaian keputusan dengan memelihara persetujuan bersama. Dengan demikian, tidak lain merupakan cerminan dari suatu hubungan sosial yang sangat mendasar yang ditemui di desa-desa di Indonesia dan pernah memberikan jaminan perlindungan serta merupakan keperluan paling mendasar bagi masyarakat desa. Keterkaitan sosial-ekonomi, yang diwujudkan dengan pemilikan tanah merupakan ciri utama ”demokrasi” yang tumbuh di desa-desa sebelum diawalinya zaman penjajahan Belanda. Demokratisasi tradisional desa yang dimaksud adalah kecenderungan masyarakat untuk tidak membatasi hubungan dengan berbagai kalangan, kepala negara yang tidak sangat bergantung pada orang-orang luar desa untuk mendapatkan bantuan atau petunjuk. Untuk nilai Ekonomis, desa juga mengajarkan bahwa kekayaan, meski tidak harus dibagikan sama rata tetapi ada norma-norma sosial yang membatasi polarisasi kekayaan secara besar.
Keberadaan Komite Komunitas memang condong berposisi layaknya civil society yang berupaya agar masyarakat memperoleh pengakuan dan letak-peran yang semakin kuat dalam kehidupan bernegara. Pengambilan posisi ini penting mengingat bahwa dalam konteks kekinian, civil society memiliki sederet aspek yang sangat penting bagi gerakan demokrasi secara lebih luas, yakni civil society sebagai kekuatan alternatif yang dapat menjadi motor bagi pembubaran kekuasaan pemerintahan dengan membentuk sejumlah pusat pemikiran, aksi, dan loyalitas. civil society diharapkan menambah atau menggantikan program-program pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat. Di dalam negara modern yang disokong oleh administrasi birokrasi yang ketat, kehadiran civil society diharapkan mampu menjadi mediator bagi munculnya konflik atau ketidakadilan birokrasi-negara terhadap individu dan keluarga. civil society diharapkan mendorong dan meningkatkan kreativitas bagi terjaminnya pemikiran-pemikiran independen. Disadari bahwa unsur kreativitas merupakan unsur penting bagi proses berlangsungnya demokrasi.
Categories: