Pemuda Kolaka

HARGA berbagai kebutuhan melonjak tak terkendali menyusul naiknya harga minyak dunia yang sempat menyentuh 100 dolar AS per barel. Pemerintah berkali-kali menegaskan bahwa kenaikan harga minyak masih bisa dikendalikan. Bahkan cadangan devisa hingga akhir tahun 2007 justru membengkak menjadi 56,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 534,860 triliun. Kendati cadangan devisa makin gemuk, pada kenyataannya, hampir semua barang mengalami lonjakan harga sehingga membuat masyarakat nyaris tak berkutik. Harga beras, gula, minyak goreng, terigu, sayuran, tempe-tahu, dan sebagainya bagai tak terkendali. Para ibu rumah tangga di Batam terpaksa harus mengurangi jatah belanja. Harga gas elpiji tabung 50 kg juga melonjak hingga Rp 83,766 per tabung dan harga elpiji bulk juga melonjak hingga 25,2 persen atau menjadi Rp 7.329,74/kg.
Kondisi ini menyebabkan industri yang memanfaatkan gas terpaksa menaikkan harga produk mereka. Sehingga yang terimbas tetap konsumen yang mayoritas masyarakat kecil. Melonjaknya harga berbagai kebutuhan membuat masyarakat golongan menengah-bawah kian terengah-engah. Mereka makin tak berdaya lantaran turunnya daya beli secara signifikan. Pada gilirannya kondisi ini akan mengganggu pondasi ekonomi negara ini secara keseluruhan karena pertumbuhan sektor riil pun ikut terganggu. Kendati demikian, pemerintah tetap saja ngotot “mencabut” berbagai subsidi. Pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM hingga tahun 2009, namun tetap menggunakan cara lain untuk ‘menaikkan’ BBM dengan mengurangi konsumsi premium. Itulah paradoks yang terjadi di negara ini. Ketika cadangan devisa melonjak tinggi, pertumbuhan ekonomi tahun 2007 merupakan yang tertinggi sejak krisis melanda negeri ini (diperkirakan mencapai 6,3 persen), namun masyarakat banyak tidak menikmati manfaat dari angka-angka positif itu. Lantas, untuk apa cadangan devisa besar dan pertumbuhan ekonomi mengkilap jika tidak memberikan manfaat bagi masyarakat? Ini menjadi sesuatu yang sangat ironis. Karena toh masyarakat tetap berada dalam tekanan ekonomi yang semakin berat karena dihimpit harga barang-barang kebutuhan yang semakin mencekik. Para pengusaha kecil pun diperkirakan bakal hancur karena tak kuat menahan biaya produksi yang didukung merosotnya daya beli masyarakat. Sehingga pada gilirannya angka pengangguran akan semakin tinggi. Maka percuma cadangan devisa menguat sementara secara de facto negara ini sementara menuju pada kebangkrutan. Logikanya, jika cadangan devisa naik, maka perekonomian sebuah negara semakin sehat. Pendapatan per kapita semakin tinggi dan itu berarti kesejahteraan rakyat semakin baik. Lantas apa makna cadangan devisa tertinggi dalam sejarah yang dicapai Indonesia hingga akhir Desember 2007 lalu? Sementara beragam kebijakan pemerintah justru tidak seberapa berpihak pada sektor riil. Sehingga rapor bagus pertumbuhan ekonomi menjadi sesuatu yang semu karena lebih banyak digerakkan oleh pasar modal melalui capital inflow (aliran dana masuk). Dapat dipastikan aliran dana seperti ini tidak menggerakkan sektor riil, bahkan sewaktu-waktu bisa mengalir keluar (capital outflow). Sebab dana-dana itu masuk dari tangan-tangan para spekulan yang hanya mencari keuntungan di pasar modal. Maka modal mereka bisa masuk dan keluar seenak hati, sementara rakyat negeri ini harus terus menjadi korban karena beban APBN justru diletakkan di pundak mereka tanpa merasakan manfaatnya. Di sisi lain, pemerintah daerah pun lebih suka memarkir dana di SBI, sehingga tetap saja masyarakat tak bisa menikmati manfaat dari APBD di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, sudah saatnya para pengelola negara ini mengakhiri model pembangunan ekonomi yang hanya menghasilkan angka-angka semu dan senantiasa memperkaya kaum kapitalis. Sudah saatnya secara serius dan bertanggungjawab menggerakkan sektor riil untuk mengakhiri lingkaran setan kemiskinan yang membelit segenap anak bangsa ini.

Categories:

Leave a Reply

Selamat Membaca