Pemuda Kolaka

Indonesia Negaraku
Indonesia Bangsaku
Indonesia Negeriku
Indonesia Bahasaku
Sungguh luas lautanmu
Panorama Alammu yang begitu eksotis
Kebudayaanmu yang begitu beragam
Kekayaan Alammu yang begitu subur
Oh.......... Indonesia Ku
Sungguh Indah engkau di dunia ini
Tapi. . . . . . . .
Jauh di sana
Kemiskinan di mana-mana
Kelaparan yang selalu menghantui
Penggusuran merajalela
Kurupsi menjadi budaya-Mu
Ada apa denganmu. . . ???
Wahai INDONESIAKU TERCINTA !!!
Read More …

Adakah pendidikan yang bersifat netral ? Sepertinya kita sangat kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini. Secara konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja berpijak dan berpihak kepada suatu aliran filsafat-nya. Paradigma Pendidikan Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran Filsafat Skolastik yang cenderung determinis (jabbariah : fatalistik). Paradigma ini sangat fatalistik sebab hanya memahami suatu kondisi sosial sebagai "suratan takdir". Apa yang telah terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Di sini pula kita mendapatkan suatu kesalahan berpikir yang disebut dengan fallacy of retrospective determinism. Kesalahan berpikir yang hanya memahami suatu keadaan sosial sebagai kenyataan yang sudah seharusnya terjadi. Atau ketika kondisi seperti ini dipahami melalui paradigma pemikiran Paulo Freire lebih tepat disebut dengan "kesadaran magis" (magic conscious).
Untuk Paradigma Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari dasar filosofis-nya yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan yang melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan yang mengedepankan aspek pengembangan potensi, perlindungan hak-hak dan kebebasan (freedom). Paham individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan liberal. Sementara paradigma positivistik (empirisme) memiliki karakter khusus seperti empiris (indrawi), universalisme dan generalisasi melalui kumpulan-kumpulan teori (Schoyer, 1973). Akan tetapi Mazhab Positivisme telah terbantahkan melalui gagasan-gagasan dari Jurgen Habermas, seorang tokoh utama "Mazhab Frankfurt" (Frankfurt School). Kritik Habermas terhadap positivisme meliputi pertama; instrumental knowledge yang bertujuan untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi serta eksploitasi terhadap obyek. Kedua; hermeneutic knowledge yang bertujuan hanya untuk memahami saja. Dan ketiga; critical knowledge atau emansipatory knowledge yang menempatkan pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan manusia (Bottomore, 1984).
Pendidikan Kritis (Radikal) juga tidak lepas dari keberpihakan. Paradigma pendidikan ini menghendaki adanya perubahan sosial (social change) yang berkeadilan. Jadi tidak ada unsur yang dominan dan menindas dalam struktur sosial yang nantinya akan menyudutkan salah satu dari unsur sosial di dalamnya.Karena paradigma pendidikan tidak mungkin bersifat netral sama sekali, maka kemanakah pendidikan itu seharusnya berkiblat? Inilah sebenarnya persoalan yang paling signifikan dalam kaitannya dengan visi pendidikan. Hendak diarahkan ke mana keberpihakan pendidikan itu ?.Jika Prof. Proopert Lodge memiliki pandangan "live is education and education is live" (kehidupan itu adalah proses pendidikan dan proses pendidikan itu adalah kehidupan), sebenarnya antara pendidikan dengan proses kehidupan tidak ada bedanya. Adapun yang dimaksud dengan proses kehidupan adalah hubungan manusia dengan manusia lain yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi, kondisi serta struktur (tatanan) sosial yang akan memposisikan-nya dalam fungsi yang berbeda-beda. Kemudian proses kehidupan itu juga akan melahirkan tipe-tipe manusia yang berbeda-beda pula.
Jika saja kita menganalisa tipe-tipe manusia dengan menggunakan teori konflik, kondisi suatu tatanan sosial dihadapkan pada dua sisi yang saling kontradiksi. Realitas sosial akan menampakkan dua sisi yang saling berhadap-hadapan seperti adanya penguasa tentu di sisi lain ada yang dikuasai, ada kelompok kuat, tentu di sisi lain terdapat pihak yang lemah dan seterusnya. Inilah yang kami maksud dengan dua realitas yang saling kontradiksi itu.

Kondisi yang tidak berimbang sebab dominasi peran suatu kelompok dalam masyarakat kemudian melahirkan penindasan, tekanan-tekanan dan mungkin juga kekerasan fisik. Akibatnya struktur sosial yang ada hanya mewakili dari "sistem tuan dan budak". Kelompok lemah akan semakin tertindas dan hidup dalam keterbelakangan. Potensi-potensi manusiawi telah dinafikan akibat struktur yang membentuk antagonisme itu.
Bagi Paulo Freire, kondisi seperti itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setiap penindasan apapun bentuknya tetap dinilai tidak manusiawi (dehumanisasi). Oleh karena itu proses pendidikan harus memuat agenda untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Masyarakat yang tertindas itu nantinya hanya akan semakin tengelam dalam "kebudayaan bisu" (sub merged in the culture silence), yaitu suatu kondisi yang senantiasa dalam ketakutan dan ketidakberdayaan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, 2001). "Bahasa diam" kemudian menjadi semakin sakral dan harus selalu dihormati.
Ketimpangan sosial akibat dominasi peran (fungsi) dari sekelompok orang yang merasakan kenyamanan di atas penderitaan orang lain bukanlah kondisi yang harus dibiarkan begitu saja. Freire menggarisbawahi bahwa pendidikan harus bertujuan untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut atau tertekan akibat otoritas kekuasaan. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan untuk membebaskan kaum tertindas harus didasarkan atas semangat optimisme, sikap kritis dan resistent. Optimisme berarti merubah pola pikir masyarakat dari kesadaran magis (magic consciousness) yang sangat determinis itu. Sikap ini merupakan langkah awal untuk mengubah sistem yang ada karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki "kehendak" (will) dan "kebebasan" (freedom) untuk menentukan nasibnya sendiri. Karena itulah, seseorang harusnya optimis dalam menghadapi proses kehidupan ini. Semuanya penuh dengan "keserbamungkinan".
Sementara sebagai manusia yang normal pasti ia akan memilih kehidupannya yang terbaik.
Sikap kritis adalah langkah berikutnya bahwa seseorang harus mampu melihat secara analitis persoalan-persoalan realitas dan dirinya serta mampu memetakan persoalan sambil memahami unsur-unsur yang mempengaruhi (dominan) suatu kondisi sosial. "Kesadaran Kritis" (critical consciousness) merupakan faktor utama bagi seorang manusia untuk bisa membaca situasi sosial sekaligus dirinya. Penyadaran (konsientisasi) dengan puncaknya yakni "Kesadaran Transformative" (transformative consiousness) adalah tujuan dari pendidikan. Demikianlah maksud dari konsep pendidikan Paulo Freire (lihat William A. Smith, 2002).
Jelaslah sudah bahwa pendidikan yang tidak bisa netral itu harus berkiblat pada suatu visi. Dan visi tersebut telah kita temukan melalui konsep pendidikan kritis yang telah digagas oleh Paulo Freire. Pendidikan harus berbasis pada kerakyatan. Struktur sosial yang dilihat dengan kaca mata konflik harus dimulai dari lapisan paling bawah atau yang sering disebut sebagai masyarakat marginal. Visi kerakyatan ini merupakan arahan agar pendidikan kita mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang bersinggungan dengan otoritas suatu kekuasaan.
Pendidikan nasional untuk saat ini sepertinya semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi sekolah-sekolah tinggi semakin jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan. Saat ini pendidikan dikelola dengan menggunakan manajemen bisnis yang kemudian menghasilkan biaya yang melangit. Biaya pendidikan makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal (kapitalis). Dengan menggunakan label sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah panutan dan sebagainya biaya pendidikan semakin mencekik "wong cilik". Pendidikan kita semakin menindas terhadap kaum marginal. Di manakah letak keadilan pendidikan kita jika sekolah yang bermutu itu hanya untuk mereka yang punya uang saja ?.
Dengan biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau oleh masyarakat marginal, kita semakin berhadapan dengan persoalan penindasan gaya baru. Penindasan yang terselubung yang secara tidak langsung menciptakan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Inilah yang kami maksud dengan penindasan gaya baru itu. Rakyat lemah tidak lagi mampu mengenyam pendidikan bermutu akibat mahal-nya biaya pendidikan itu.
Para praktisi pendidikan kita sepertinya kurang mampu memahami kaum marginal yang serba kesulitan. Mereka lebih disibukkan dengan perdebatan-perdebatan teoritis tentang kebijakan tanpa memahami secara langsung kondisi masyarakat marginal itu. Kita tentunya masih ingat dengan kasus Haryanto, seorang murid Sekolah Dasar Muara Sanding VI Garut yang putus asa lalu bunuh diri dengan menggantung diri akibat tidak mampu membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler. Orang tuanya tidak mampu memberikan biaya kegiatan yang hanya sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Ia kemudian putus asa lalu menggantung diri. Inilah salah satu dari sekian potret kaum marginal yang serba dalam kesulitan. Untuk membiayai kegiatan sekolah sebesar dua ribu lima ratus rupiah saja terasa berat sekali, apalagi biaya pendidikan dengan jumlah ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah.
Sudah saatnya para pakar pendidikan nasional memahami persoalan yang kerap kali terlupakan ini.
Read More …

Read More …

Terlepas dari seluruh perdebatan mengenai system dan proses pendidikan yang ada di Indonesia, pada akhirnya kita mengakui bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dari evaluasi terhadap perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, setidaknya ada beberapa permasalahan esensial yang harus segera dibenahi . Berbagai masalah pendidikan ini antara lain:

1. Akses masyarakat terhadap pendidikan.
Permasalahan akses terhadap pendidikan, masih menjadi masalah yang cukup pelik Diakui atau tidak, pada kenyataannya penyebaran akses untuk mendapatkan pendidikan belumlah merata Fasilitas pendidikan belumlah dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Penyebabnya bisa beragam dari mulai tidak tersedianya fasilitas, penyebaran yang kurang merata hinggá masalah ketidakmampuan masyarakat dalam menjangkau mahalnya biaya pendidikan. Hal ini Sangay disayangkan mengingat pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin hak-hak pendidikan terutama pendidikan dasar.
Menurut data depdiknas tahun 2006/2007 jumlah peserta didik di tingkat sekolah dasar hanya berjumlah 17.589.180 dan jumlah ini terus menurun di setiap jenjang pendidikan berikutnya. Dari 619.535 ruang kelas yang ada di Indonesia, yang masuk ke dalam kategori baik hanya 273.844. Artinya lebih dari 50% ruang kelas yang ada di Indonesia mengalami kerusakan baik ringan maupun berat. Falta ini menunjukan bahwa masih ada ketimpangan fasilitas pendidikan yang memadai bagi peserta didik. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ditataran sekolah dasar yang oleh UU sisdiknas dikatakan gratis saja masih mengalami permasalahan.
Belum lagi mengenai penyebaran dan indeks pembangunan sekolah. Pembangunan sekolah belumlah dapat dikatakan merata.
2. Pemahaman mengenai pendidikan sebagai hak atau komoditas dan indikasi komersialisasi
Salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan adalah perbedaan pemahaman yang ada dalam memandang dunia pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO di beberapa daerah di Indonesia, terlihat ada kubu dalam menyikapi hal ini. Sebagian besar stakeholder menganggap bahwa pendidikan adalah alat atau komoditas yang ada harganya. Ini jelas sangat bernuansa ekonomis. Yang menarik bahkan masyarakat pun memiliki penilaian yang sama. Hampir tidak ada masyarakat yang merujuk pendidikan sebagai pelayanan yang cuma-cuma.
Kondisi ini menimbulkan dua implikasi terbesar. Pertama, bagi para penyelenggara pendidikan, pendidikan dijadikan barang privat yang tidak dapat dimiliki oleh semua kalangan. Pendidikan hanya boleh dinikmati oleh mereka yang memiliki uang untuk menanggung biaya pendidikan. Sehingga muncul adagium “orang miskin dilarang sekolah”. Implikasi kedua, persepsi masyarakat awam yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang pasti dan sudah sewajarnya membutuhkan biaya besar, pada akhirnya menyebabkan mereka cenderung pasrah menerima keadan. Masyarakat yang kurang beruntung tidak lagi memliki semangat untuk menuntut dan memperjuangkan hak mereka atas pendidikan. Lebih jauh lagi, jika menganalisis lebih dalam mengenai RUU BHP melalui teori pertukaran (excanghe framework) dan menggunakan tindakan sosial rasional nilai dimana tindakan ini menempatkan nilai sebagai tujuan yang akan dicapai dengan efektif dan efesien; baik nilai sebagai tujuan maupun nilai sebagai pendorong individu melakukan tindakan sosial, maka akan terlihat bahwa terdapat indikasi menuju komersialisasi pendidikan. Dalam teori pertukaran yang menjadi esensi adalah utilitarianisme dimana setiap individu secara rasional berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari pilihan tindakan sosialnya. Dalam RUU BHP diketahui bahwa pemerintah berharap lembaga pendidikan baik pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi mampu mandiri. Kemandirian inilah yang kemudian diejawantahkan pemerintah melalui dibukanya kanal-kanal investasi dalam bidang pendidikan.
Namun, saut hal yang mungkin dilupakan oleh pemerintah adalah perbedaan motivasi dari investasi yang dilakukan oleh tiap investor. Lembaga pendidikan luar negeri tentu memiliki motivasi mendapatkan laba melalui investasinya, sedangkan prinsip BHP adalah nirlaba. Dalam pengimplementasian BHP kelak, tentu akan sulit untuk membayangkan keuntungan dan laba apalagi selain keuntungan profit yang akan dikejar oleh para investor (asing terlebih), keuntungan profit inilah yang disebut sebagai keuntungan rasional. Sebagai contoh, pada tahun 2000 Amerika Serikat meraup keuntungan Rp 126 trilyun dari pendidikan. Hal ini menujukkan bahwa pendidikan sebagai komoditas pendidikan amat menggiurkan

3. Pembiayaan pendidikan
Masalah pendidikan yang lainnya adalah masalah pembiayaan pendidikan. Di dalam konstitusi Indonesia, telah diatur secara tegas mengenai kewajiban negara untuk menyisihkan 20% dari APBN dan APBD untuk membiayai pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Namun pada kenyataannya pemerintah telah melakukan empat kali pelanggaran terhadap konstitusi. Padahal adanya klausul 20% ini jelas bukan tanpa alasan. Memang banyak kalangan yang menilai bahwa tidak semestinya sebuah konstitusi mengatur jumlah anggaran. Namun konstitusi sebagai resultante (kesepakatan masyarakat) haruslah mampu mengakomodir kebutuhan rakyat. Pencantuman angka 20% ini betapapun tidak lazim, tetapi bukan berarti tidak ada negar yang mencantumkan ini dalam UUD-nya. Sebagai contoh Cina-Taiwan secara tegas mengatur jumlah alokasi anggaran untuk pendidikan dalam konstitusi mereka. Anggaran 20% ini betapapun bersifat imperativ, oleh karenanya ia merupakan kewajiban negara yang tidak dapat ditunda-tunda.
Namun realita di lapangan menunjukan kondisi yang berbeda. Hingga saat ini belum pernah sekalipun Indonesia memenuhi amanah konstitusi terkait dengan pembiayaan pendidikan sebesar 20% dari APBN, bahkan kecenderungan yang terjadi adalah anggaran pendidikan tidak sesuai dengan target yang diinginkan.
Dengan demikian kita memang masih memiliki PR yang harus diselesaikan dalam masalah pendaan dunia pendidikan. Meskipun UU Sisdiknas telah mengamanahkan bahwa pendidikan dasar sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, namun pada tahap implementasi masih banyak pungutan-pungutan yang dilakukan pihak sekolah dengan alasan keterbatasan dana.

1. Masalah indepensi lembaga pendidikan
Isu krusial yang hangat dibicarakan saat ini adalah masalah kemandirian yang harus dimiliki oleh sebuah institusi pendidikan. Pada dasarnya kita sepakat bahwa dalam melaksanakan proses belajar dan mengajar, lembaga pendidikan membutuhkan kebebasan dalam hal kurikulum agar muatan-muatan kebutuhan lokal dapat tersampaikan dengan baik. Kita pun sepakat bahwa institusi pendidikan membutuhkan menejemen yang berkualitas baik dalam hal pengelolaan SDM, fasilitas, pendanaan maupun output yang dihasilkan dari proses pengajaran itu sendiri.
Dalam dua dekade terakhir terutama setelah globalisasi digaungkan, isu mengenai kemandirian pendidikan terutama perguruan tinggi menjadi topik yang terus di bahas. Akibat adanya diversifikasi pendidikan, pemerintahan melakukan reformasi dalam bidang pendanaan dan menejemen. Maka munculah ide menejemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi. Kita sepakat bahwa untuk menjamin mutunya institusi pendidikan memang harus diberikan kemandirian, namun yang jadi masalah kemandirian yang seperti apa yang harus dilakukan untuk menjamin mutu pendidikan dengan tidak melupakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kemandirian yang dimaksud tentunya memang mengurangi intervensi negara tapi bukan berarti negara dapat lepas tangan.

2. Kerancuan hukum
Permasalahan dalam dunia pendidikan yang juga cukup fatal adalah masalah hukum, terutama dalam perguruan tinggi. Di lihat dari sudut pandang institusi pendidikan swasta, terdapat dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan antara pengurus yayasan dengan pelaksana satuan pendidikan. Seringkali terjadi kericuhan dan ketidaksepakatan antara pengurus dan unit pelaksana pendidikan. Hal ini menyebabkan independensi dari institusi pendidikan teracam. Permasalahan lain yang muncul adalah UU.No.16 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai ranah pendidikan yang didirikan oleh yayasan. Yayasan hanya diperbolehkan mendirikan badan usaha. Kekhawatiran yang muncul yaitu ketika yayasan justru menggunakan lembaga pendidikan sebagai badan usaha untuk mendapatkan keuntungan.
Dari sudut pandang Perguruan Tinggi Negeri, terutama yang berstatus BHMN adalah permasalahan payung hukum. Seperti telah diketahui bahwa dasar pendirian dari PT BHMN adalah peraturan pemerintah, padahal PP merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang dan dalam UU Sisdiknas No.2 tahun 1989 tidak diatur mengenai BHMN. Permasalahan status BHMN ini pun menimbulkan prahara tersendiri, karena tidak diatur secara jelas maka BHMN menjadi badan hukum yang memiliki beberapa masalah.
Read More …

Secara sosiologis, sejatinya kekeraan sudah sngat mengakrabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Peneyelesaian konflk selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasanyang kerap terjadi bukan hanya di lakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat tertapi juga oleh aparat negara. Menurut Johan Galtung (2003) kekerasan di bagi menjadi tiga tipelogi yaitu kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event), kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen, kekerasan dan kekerasan struktural adalah sebuah proses. Sementara menurut Ted Robert Gurr, kekerasan muncul karena deprivasi relative yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relative dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectations) dan kapabilitas nilai (value capabilities).
Jika teoru Galtung maupun Ted Robert Gurr dijadikan pisau analisis, maka kekerasan dalam dunia pendidikan kita sudah memenuh jenis kekerasan tersebut. Pertama, kekerasan langsung yang menghujam pada unsure utama bangunan pendidikan kita, yakni pelaku utama pendidikan. Kekerasan ini bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang lan. Kedua, bentuk kekerasan structural sekaligus cultural. Kekerasan ini terjadi pada unsur pelaku utama pendidikan, yang mewujudkan dalam kerangkan pendidikan. Pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan.
Hanya dalam hitungan hari kekerasan dalam dunia pendidikan terjadi. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan Tinggi. Kabar mengenai kekerasan di dunia pendidikan sering terjadi di mana-mana dan disiarkan/diberitakan media massa. Secara keseluruhan pada tahun 2007 menurut komnas perlindungan Anak (KPA) 42 persen pelaku kekerasan fisik terhadap anak di domnasi oleh Guru. Sebuah fenomena yang sangat tragis dan mengejutkan, hukuman fisik bagi siswa sangat tidak di benarkan. Dr. Seto Mulyadi salah seorang ketua KPA menyatakan bahwa sekitar 80 hingga 90 persen anak-anak di Indonesia masih belum mendapatkan hak pendidikan, karena sejatinya itu adalah hak bukan suatu kewajiban. Sementara berjuta anak Indonesia yang mengeyam bangku sekolah merasa terpaksa dan mendapatkan suasani sekolah yang tidak menyenangkan. Padahal, proses belajar yang efektif bakal muncul dari kondisi dan suasana belajar yang menyenangkan.
Di era reformasi saat ini perlu direnungkan apakah kita masih membutuhkan system pendidikan semi militer dengan kekerasannya untuk mendidik siswa. Pada saat era ORde Baru, model pendidikan ini menjadi idola karena system pemrintahan bersifat TOP DOWN sehingga pendidikan pun harus berkiblt pada pola tersebut. Nampak bahwa pendekatan pendidikan yang di terapkan di sebut pendekatan top down atau dari atas ke bawah dengan karakter dasar mendikte. Pendekatan seperti ini berasumsi bahwa pendidikan adalah pusat kebenaran dan pengetahuan lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat di bantah.
System pendidikan corak ini memang cocok diperuntukkan dalam system pendidikan meiliter. Metode pendidikan seperti in juga mirip dengan metode yang di pakai untuk mendidik anjing. Anjng didik oleh tuannya dengan system reward dan punishmen, agar si anjing tunduk dan setia pada tuannya.
Read More …

A. Wewenang pendidikan

Pendidikan merupakan sesuatu yang niscaya dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia akan mengembangkan potensi kemanusiaannya secara serampangan, tanpa arah dan tujuan jelas. Demikian pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia, sehingga pendidikan saat ini menjadi “barang” yang mahal.
Salah satu fenomena pendidikan yang layak dicermati dewasa ini adalah bergesernya tujuan pendidikan dari pengembangan potensi menjadi sarana untuk memperoleh social effect. Dalam pengertian ini, seseorang mengikuti pendidikan untuk kepentingan memperoleh status social yang layak.
Pendidikan telah disadari secara benar sebagai wewenang dan tanggung jawab untuk memanusiakan manusia. Mansoour Fakih secara tegas berpandangan, setiap kegiatan politik, ekonomi, maupun social yang bertujuan untuk menghalangi, ataupun akan menyebabkan anggota masyarakat tidak mendapat pendidikan, maka hal ini bisa di kategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Untuk itu diperlukan pengertian, pemahaman, dan kesadaran bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan wewenang dan tanggung jawab. Dengan adanya kesadaran bahwa pendidikan adalah wewenang dan tanggung jawab, maka pendidikan dengan sendirinya akan mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan, baik dari aspek software (tujuan, kurikulum dan prosesnya) maupun dari perangkat hardwere (unsure sarana-prasarana serta unsure-unsur humanismenya.
Pendidikan sebagai perwujudan, bila dilakasanakan secara wajar akan melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, baik secara intelektual maupun moral spiritual. Dengan demikian akan lahirlah sosok-sosok manusia yang mampu menempatkan dirinya, baik secara individu maupun makhluk social.

B. Tanggung Jawab Pendidikan
Pihak yang paling bertanggung jawab atas dunia pendidikan adalah negara atau pemerintah. Karena, konstitusi membebankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada pemerintah. Sayangnya, sejak merdeka hingga kini, pemerintah belum tampak sungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan. Indikasi paling menyolok adalah minimnya anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan tidak pernah lebih dari 7% dari total pengeluaran pemerintah. Sementara anggaran pendidikan di negara-negara jiran seperti Malaysia mencapai 23%, Singapura 19%, Thailand 22%, dan Filipina 20%.
Implikasinya, fasilitas dan sarana-sarana penunjang kegiatan kependidikan sangat kurang. Para guru pun hidup di bawah kelayakan. Padahal kepada mereka harapan perbaikan pendidikan ditumpukan. Kenyataan itulah yang selanjutnya melahirkan anak-anak bermasalah yang resultannya adalah rendahnya kualitas SDM dan kinerja bangsa yang lemah.
Di sisi lain, mandulnya kurikulum karena tidak berorientasi pada penumbuhan kemampuan berpikir peserta didik agar secara kreatif menyiasati masa depannya, dan tidak terbentuknya karakter kejiwaan yang unggul, mengarahkan pendidikan nasional pada kecenderungan negatif.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, kemudian berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orangtua memberikan setoran kepada sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para pengajar itu membagikannya kepada birokrat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan pamornya.
Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi. Karena tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari tiga dekade terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan mudah dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan karena buta pikiran dan buta nurani.
Read More …