Pemuda Kolaka

A. Wewenang pendidikan

Pendidikan merupakan sesuatu yang niscaya dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia akan mengembangkan potensi kemanusiaannya secara serampangan, tanpa arah dan tujuan jelas. Demikian pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia, sehingga pendidikan saat ini menjadi “barang” yang mahal.
Salah satu fenomena pendidikan yang layak dicermati dewasa ini adalah bergesernya tujuan pendidikan dari pengembangan potensi menjadi sarana untuk memperoleh social effect. Dalam pengertian ini, seseorang mengikuti pendidikan untuk kepentingan memperoleh status social yang layak.
Pendidikan telah disadari secara benar sebagai wewenang dan tanggung jawab untuk memanusiakan manusia. Mansoour Fakih secara tegas berpandangan, setiap kegiatan politik, ekonomi, maupun social yang bertujuan untuk menghalangi, ataupun akan menyebabkan anggota masyarakat tidak mendapat pendidikan, maka hal ini bisa di kategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Untuk itu diperlukan pengertian, pemahaman, dan kesadaran bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan wewenang dan tanggung jawab. Dengan adanya kesadaran bahwa pendidikan adalah wewenang dan tanggung jawab, maka pendidikan dengan sendirinya akan mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan, baik dari aspek software (tujuan, kurikulum dan prosesnya) maupun dari perangkat hardwere (unsure sarana-prasarana serta unsure-unsur humanismenya.
Pendidikan sebagai perwujudan, bila dilakasanakan secara wajar akan melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, baik secara intelektual maupun moral spiritual. Dengan demikian akan lahirlah sosok-sosok manusia yang mampu menempatkan dirinya, baik secara individu maupun makhluk social.

B. Tanggung Jawab Pendidikan
Pihak yang paling bertanggung jawab atas dunia pendidikan adalah negara atau pemerintah. Karena, konstitusi membebankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada pemerintah. Sayangnya, sejak merdeka hingga kini, pemerintah belum tampak sungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan. Indikasi paling menyolok adalah minimnya anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan tidak pernah lebih dari 7% dari total pengeluaran pemerintah. Sementara anggaran pendidikan di negara-negara jiran seperti Malaysia mencapai 23%, Singapura 19%, Thailand 22%, dan Filipina 20%.
Implikasinya, fasilitas dan sarana-sarana penunjang kegiatan kependidikan sangat kurang. Para guru pun hidup di bawah kelayakan. Padahal kepada mereka harapan perbaikan pendidikan ditumpukan. Kenyataan itulah yang selanjutnya melahirkan anak-anak bermasalah yang resultannya adalah rendahnya kualitas SDM dan kinerja bangsa yang lemah.
Di sisi lain, mandulnya kurikulum karena tidak berorientasi pada penumbuhan kemampuan berpikir peserta didik agar secara kreatif menyiasati masa depannya, dan tidak terbentuknya karakter kejiwaan yang unggul, mengarahkan pendidikan nasional pada kecenderungan negatif.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, kemudian berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orangtua memberikan setoran kepada sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para pengajar itu membagikannya kepada birokrat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan pamornya.
Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi. Karena tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari tiga dekade terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan mudah dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan karena buta pikiran dan buta nurani.

Categories:

Leave a Reply

Selamat Membaca