Terlepas dari seluruh perdebatan mengenai system dan proses pendidikan yang ada di Indonesia, pada akhirnya kita mengakui bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dari evaluasi terhadap perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, setidaknya ada beberapa permasalahan esensial yang harus segera dibenahi . Berbagai masalah pendidikan ini antara lain:
1. Akses masyarakat terhadap pendidikan.
Permasalahan akses terhadap pendidikan, masih menjadi masalah yang cukup pelik Diakui atau tidak, pada kenyataannya penyebaran akses untuk mendapatkan pendidikan belumlah merata Fasilitas pendidikan belumlah dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Penyebabnya bisa beragam dari mulai tidak tersedianya fasilitas, penyebaran yang kurang merata hinggá masalah ketidakmampuan masyarakat dalam menjangkau mahalnya biaya pendidikan. Hal ini Sangay disayangkan mengingat pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin hak-hak pendidikan terutama pendidikan dasar.
Menurut data depdiknas tahun 2006/2007 jumlah peserta didik di tingkat sekolah dasar hanya berjumlah 17.589.180 dan jumlah ini terus menurun di setiap jenjang pendidikan berikutnya. Dari 619.535 ruang kelas yang ada di Indonesia, yang masuk ke dalam kategori baik hanya 273.844. Artinya lebih dari 50% ruang kelas yang ada di Indonesia mengalami kerusakan baik ringan maupun berat. Falta ini menunjukan bahwa masih ada ketimpangan fasilitas pendidikan yang memadai bagi peserta didik. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ditataran sekolah dasar yang oleh UU sisdiknas dikatakan gratis saja masih mengalami permasalahan.
Belum lagi mengenai penyebaran dan indeks pembangunan sekolah. Pembangunan sekolah belumlah dapat dikatakan merata.
2. Pemahaman mengenai pendidikan sebagai hak atau komoditas dan indikasi komersialisasi
Salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan adalah perbedaan pemahaman yang ada dalam memandang dunia pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO di beberapa daerah di Indonesia, terlihat ada kubu dalam menyikapi hal ini. Sebagian besar stakeholder menganggap bahwa pendidikan adalah alat atau komoditas yang ada harganya. Ini jelas sangat bernuansa ekonomis. Yang menarik bahkan masyarakat pun memiliki penilaian yang sama. Hampir tidak ada masyarakat yang merujuk pendidikan sebagai pelayanan yang cuma-cuma.
Kondisi ini menimbulkan dua implikasi terbesar. Pertama, bagi para penyelenggara pendidikan, pendidikan dijadikan barang privat yang tidak dapat dimiliki oleh semua kalangan. Pendidikan hanya boleh dinikmati oleh mereka yang memiliki uang untuk menanggung biaya pendidikan. Sehingga muncul adagium “orang miskin dilarang sekolah”. Implikasi kedua, persepsi masyarakat awam yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang pasti dan sudah sewajarnya membutuhkan biaya besar, pada akhirnya menyebabkan mereka cenderung pasrah menerima keadan. Masyarakat yang kurang beruntung tidak lagi memliki semangat untuk menuntut dan memperjuangkan hak mereka atas pendidikan. Lebih jauh lagi, jika menganalisis lebih dalam mengenai RUU BHP melalui teori pertukaran (excanghe framework) dan menggunakan tindakan sosial rasional nilai dimana tindakan ini menempatkan nilai sebagai tujuan yang akan dicapai dengan efektif dan efesien; baik nilai sebagai tujuan maupun nilai sebagai pendorong individu melakukan tindakan sosial, maka akan terlihat bahwa terdapat indikasi menuju komersialisasi pendidikan. Dalam teori pertukaran yang menjadi esensi adalah utilitarianisme dimana setiap individu secara rasional berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari pilihan tindakan sosialnya. Dalam RUU BHP diketahui bahwa pemerintah berharap lembaga pendidikan baik pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi mampu mandiri. Kemandirian inilah yang kemudian diejawantahkan pemerintah melalui dibukanya kanal-kanal investasi dalam bidang pendidikan.
Namun, saut hal yang mungkin dilupakan oleh pemerintah adalah perbedaan motivasi dari investasi yang dilakukan oleh tiap investor. Lembaga pendidikan luar negeri tentu memiliki motivasi mendapatkan laba melalui investasinya, sedangkan prinsip BHP adalah nirlaba. Dalam pengimplementasian BHP kelak, tentu akan sulit untuk membayangkan keuntungan dan laba apalagi selain keuntungan profit yang akan dikejar oleh para investor (asing terlebih), keuntungan profit inilah yang disebut sebagai keuntungan rasional. Sebagai contoh, pada tahun 2000 Amerika Serikat meraup keuntungan Rp 126 trilyun dari pendidikan. Hal ini menujukkan bahwa pendidikan sebagai komoditas pendidikan amat menggiurkan
3. Pembiayaan pendidikan
Masalah pendidikan yang lainnya adalah masalah pembiayaan pendidikan. Di dalam konstitusi Indonesia, telah diatur secara tegas mengenai kewajiban negara untuk menyisihkan 20% dari APBN dan APBD untuk membiayai pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Namun pada kenyataannya pemerintah telah melakukan empat kali pelanggaran terhadap konstitusi. Padahal adanya klausul 20% ini jelas bukan tanpa alasan. Memang banyak kalangan yang menilai bahwa tidak semestinya sebuah konstitusi mengatur jumlah anggaran. Namun konstitusi sebagai resultante (kesepakatan masyarakat) haruslah mampu mengakomodir kebutuhan rakyat. Pencantuman angka 20% ini betapapun tidak lazim, tetapi bukan berarti tidak ada negar yang mencantumkan ini dalam UUD-nya. Sebagai contoh Cina-Taiwan secara tegas mengatur jumlah alokasi anggaran untuk pendidikan dalam konstitusi mereka. Anggaran 20% ini betapapun bersifat imperativ, oleh karenanya ia merupakan kewajiban negara yang tidak dapat ditunda-tunda.
Namun realita di lapangan menunjukan kondisi yang berbeda. Hingga saat ini belum pernah sekalipun Indonesia memenuhi amanah konstitusi terkait dengan pembiayaan pendidikan sebesar 20% dari APBN, bahkan kecenderungan yang terjadi adalah anggaran pendidikan tidak sesuai dengan target yang diinginkan.
Dengan demikian kita memang masih memiliki PR yang harus diselesaikan dalam masalah pendaan dunia pendidikan. Meskipun UU Sisdiknas telah mengamanahkan bahwa pendidikan dasar sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, namun pada tahap implementasi masih banyak pungutan-pungutan yang dilakukan pihak sekolah dengan alasan keterbatasan dana.
1. Masalah indepensi lembaga pendidikan
Isu krusial yang hangat dibicarakan saat ini adalah masalah kemandirian yang harus dimiliki oleh sebuah institusi pendidikan. Pada dasarnya kita sepakat bahwa dalam melaksanakan proses belajar dan mengajar, lembaga pendidikan membutuhkan kebebasan dalam hal kurikulum agar muatan-muatan kebutuhan lokal dapat tersampaikan dengan baik. Kita pun sepakat bahwa institusi pendidikan membutuhkan menejemen yang berkualitas baik dalam hal pengelolaan SDM, fasilitas, pendanaan maupun output yang dihasilkan dari proses pengajaran itu sendiri.
Dalam dua dekade terakhir terutama setelah globalisasi digaungkan, isu mengenai kemandirian pendidikan terutama perguruan tinggi menjadi topik yang terus di bahas. Akibat adanya diversifikasi pendidikan, pemerintahan melakukan reformasi dalam bidang pendanaan dan menejemen. Maka munculah ide menejemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi. Kita sepakat bahwa untuk menjamin mutunya institusi pendidikan memang harus diberikan kemandirian, namun yang jadi masalah kemandirian yang seperti apa yang harus dilakukan untuk menjamin mutu pendidikan dengan tidak melupakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kemandirian yang dimaksud tentunya memang mengurangi intervensi negara tapi bukan berarti negara dapat lepas tangan.
2. Kerancuan hukum
Permasalahan dalam dunia pendidikan yang juga cukup fatal adalah masalah hukum, terutama dalam perguruan tinggi. Di lihat dari sudut pandang institusi pendidikan swasta, terdapat dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan antara pengurus yayasan dengan pelaksana satuan pendidikan. Seringkali terjadi kericuhan dan ketidaksepakatan antara pengurus dan unit pelaksana pendidikan. Hal ini menyebabkan independensi dari institusi pendidikan teracam. Permasalahan lain yang muncul adalah UU.No.16 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai ranah pendidikan yang didirikan oleh yayasan. Yayasan hanya diperbolehkan mendirikan badan usaha. Kekhawatiran yang muncul yaitu ketika yayasan justru menggunakan lembaga pendidikan sebagai badan usaha untuk mendapatkan keuntungan.
Dari sudut pandang Perguruan Tinggi Negeri, terutama yang berstatus BHMN adalah permasalahan payung hukum. Seperti telah diketahui bahwa dasar pendirian dari PT BHMN adalah peraturan pemerintah, padahal PP merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang dan dalam UU Sisdiknas No.2 tahun 1989 tidak diatur mengenai BHMN. Permasalahan status BHMN ini pun menimbulkan prahara tersendiri, karena tidak diatur secara jelas maka BHMN menjadi badan hukum yang memiliki beberapa masalah.
Categories: