Secara sosiologis, sejatinya kekeraan sudah sngat mengakrabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Peneyelesaian konflk selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasanyang kerap terjadi bukan hanya di lakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat tertapi juga oleh aparat negara. Menurut Johan Galtung (2003) kekerasan di bagi menjadi tiga tipelogi yaitu kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event), kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen, kekerasan dan kekerasan struktural adalah sebuah proses. Sementara menurut Ted Robert Gurr, kekerasan muncul karena deprivasi relative yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relative dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectations) dan kapabilitas nilai (value capabilities).
Jika teoru Galtung maupun Ted Robert Gurr dijadikan pisau analisis, maka kekerasan dalam dunia pendidikan kita sudah memenuh jenis kekerasan tersebut. Pertama, kekerasan langsung yang menghujam pada unsure utama bangunan pendidikan kita, yakni pelaku utama pendidikan. Kekerasan ini bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang lan. Kedua, bentuk kekerasan structural sekaligus cultural. Kekerasan ini terjadi pada unsur pelaku utama pendidikan, yang mewujudkan dalam kerangkan pendidikan. Pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan.
Hanya dalam hitungan hari kekerasan dalam dunia pendidikan terjadi. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan Tinggi. Kabar mengenai kekerasan di dunia pendidikan sering terjadi di mana-mana dan disiarkan/diberitakan media massa. Secara keseluruhan pada tahun 2007 menurut komnas perlindungan Anak (KPA) 42 persen pelaku kekerasan fisik terhadap anak di domnasi oleh Guru. Sebuah fenomena yang sangat tragis dan mengejutkan, hukuman fisik bagi siswa sangat tidak di benarkan. Dr. Seto Mulyadi salah seorang ketua KPA menyatakan bahwa sekitar 80 hingga 90 persen anak-anak di Indonesia masih belum mendapatkan hak pendidikan, karena sejatinya itu adalah hak bukan suatu kewajiban. Sementara berjuta anak Indonesia yang mengeyam bangku sekolah merasa terpaksa dan mendapatkan suasani sekolah yang tidak menyenangkan. Padahal, proses belajar yang efektif bakal muncul dari kondisi dan suasana belajar yang menyenangkan.
Di era reformasi saat ini perlu direnungkan apakah kita masih membutuhkan system pendidikan semi militer dengan kekerasannya untuk mendidik siswa. Pada saat era ORde Baru, model pendidikan ini menjadi idola karena system pemrintahan bersifat TOP DOWN sehingga pendidikan pun harus berkiblt pada pola tersebut. Nampak bahwa pendekatan pendidikan yang di terapkan di sebut pendekatan top down atau dari atas ke bawah dengan karakter dasar mendikte. Pendekatan seperti ini berasumsi bahwa pendidikan adalah pusat kebenaran dan pengetahuan lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat di bantah.
System pendidikan corak ini memang cocok diperuntukkan dalam system pendidikan meiliter. Metode pendidikan seperti in juga mirip dengan metode yang di pakai untuk mendidik anjing. Anjng didik oleh tuannya dengan system reward dan punishmen, agar si anjing tunduk dan setia pada tuannya.
Categories: