Pemuda Kolaka


CATATAN AKHIR DI TAHUN 2010
Oleh: Mahmullah
Tak terasa akhir penghujung tahun 2010 tinggal beberapa hari lagi. hanya sisa tinggal beberapa hari saja. Sudahkah kita mencoba untuk merefleksikan diri kita apa yang telah kita lakukan sampai dengan akhir tahun 2010 ini ? Apabila kita flashback seluruh kejadian yang menimpa diri kita mulai dari awal tahun sampai dengan akhir tahun, baik itu berupa hal-hal kecil ataupun hal-hal besar yang memberikan dampak yang besar bagi diri kita ataupun orang lain. Hari demi hari, bulan demi bulan sudah kita lalui, baik itu susah maupun senang, sedih maupun gembira, naik maupun turun, hal yang enak maupun hal yang tidak mengenakan, semua itu telah bercampur baur, seiring waktu berjalan.
Read More …

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di tahun 2003, telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2 tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.

Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.

Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.

Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.

Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.

Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.

Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.

Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.

Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini di tengah-tengah pertarungan politik Indonesia sudah selayaknya menjadi sebuah tonggak bagi bangkitnya bangsa Indonesia dari keterpurukan serta lepasnya Indonesia dari ?penjajahan?? bangsa asing. Sudah saatnya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dengan sebuah kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Read More …

Demokrasi sebagai produk budaya, menurut Marx manusia dapat dipahami apabila manusia itu masih berada di dalam konteks sejarah nya. Memaknai ide awal demokrasi dalam konteks sejarah, agaknya semua sepakat bahwa demokrasi digagas pemikir yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles yang awalnya disebut demokratia. Memaknai sebuah ide demokrasi di era itu nyatanya juga tidak lepas dari sebuah konteks sejarah Yunani pada waktu itu yang didominasi oleh para pemikir atau intelektual yang disebut sebagai filoshof atau shopis. Sehingga tak heran ide demokrasi era itu dalam analisi hari ini lebih dekat jika disebut sebagai Aristokrasi daripada demokrasi.


Logika yang diekspresikan demokrasi modern mengandung prinsip-prinsip mendasar, seperti adanya unsur kedaulatan rakyat, pemerintahan mayoritas, perlindungan minoritas, kemerdekaan yang dijamin UU, partisipasi warga, persamaan hak, dan sebagainya. Nilai-nilai mendasar inilah yang kemudian menjadi nilai universal dari demokrasi.

Ternyata, upaya demokratisasi di tengah arus globalisasi meniscayakan sebuah proses kontekstualitas. Banyak pemikir postmodern melakukan kritik seperti Bernard Murchland dan Thomas Charlyle terhadap ide demokrasi yang pada perkembangannya telah terjebak sebuah institusionalisasi dan menjadi proyek globalisasi (Arif, 2000). Menempatkan demokrasi sebagai nilai yang bisa diletakkan konteks sosial budaya pada basis sosial tertentu adalah sebuah pilihan yang arif dalam melakukan upaya demokratisasi. Dan penilaian apakah demokratis atau tidak terhadap sebuah komunitas, termasuk negara, tidak bisa dilakukan dengan mengkesampingkan faktor sosiokultur yang secara historis dialami oleh sebuah komunitas atau bangsa yang bersangkutan.

Demokrasi hari ini berada dalam dua arus yang nampaknya kontradiktif namun terjadi dalam dimensi yang sama. Pertama, arus kekuatan daya atur dan formasi global yang mengkonstruksi masyarakat menjadi masyarakat jaringan (meminjam istilah Manuel Castells, 2001). Hal itu ditandai dengan kecenderungan pada sebagian masyarakat Indonesia untuk memilih menjadi bagian dari warga (jaringan) dunia. Hal ini dampak dari derap globalisasi dunia, dan pasar bebas yang mensayaratkan adanya masyarkat dan bangsa yang terbuka. Dalam arus ini kemudian sering kali proyek demokratisasi terjebak dalam praktik hegemoni bahkan kolonialisasi. Demokrasi kemudian menjadi sebuah agama baru, sebagai sebuah teks kebenaran yang bersifat universal bagi semua. Penolakan terhadap demokrasi, adalah akan musnah.

Pada kenyataan ini demokrasi berada pada simpang jalan antara lokalitas dan universalitas. Gerakan demokratisasi kemudian harus bisa secara faktual menempakan dirinya sebagai nilai universal yang bisa menjembatani dan mendudukkan berbagai pluralitas dalam panggung kebersamaan dan keadilan, dan disisi lain juga harus ‘tau diri’ untuk berpijak pada bumi dimana dia tumbuh. Pada akhirnya humanitas dan multikulturalisme menjadi prinsip yang bisa menjembatani dua arus itu.

Proses demokrasi tradisional sudah tumbuh dan berjalan di masyarakat pedesaan Jawa. Jauh sebelum pemerintah mencanangkan pilkada langsung. Secara tradisional, adat-istiadat mengatur masyarakat pedesaan Jawa, menurut adat istiadat, penduduk desa berhak memilih kepala desanya sendiri, dan menggantinya kalau perbuatan kepala desa tersebut tidak memuaskan kepala desa. Demokrasi Jawa sebenarnya sangat mengandalkan pada ketergantungan ekonomis akan tetapi dalam titik yang relatif. Artinya kekayaan tidak harus dibagi secara merata tetapi ada norma-norma sosial yang menghalangi adanya polarisasi kekayaan secara besar.

Malang yang merupakan peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Peninggalan yang lebih tua seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo Wajakensis) adalah bukti arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan adanya suatu peradaban. Peninggalan purbakala disekitar wilayah Malang seperti Prasasti Dinoyo (760 Masehi), Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal dan benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja, menunjukkan bahwa Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara kontinyu. Karenanya wilayah Malang termasuk daerah di Indonesia yang beruntung memiliki sejarah perjalanan yang panjang dan setidaknya ada dua prestasi yang belum tentu dimiliki oleh daerah lain yaitu Malang merupakan tempat sejarah sekaligus pusat peradaban.

Malang Raya sebagai sebuah entitas historis yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai entitas satu dengan lainnya, maka Malang Raya dapat dipandang sebuah satu kesatuan kesejarahan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak senantiasa bahwa suatu peristiwa yang terjadi di Malang Raya pada masa lalu berada di dalam kesendirian, dalam arti tanpa adanya kaitan sama sekali dengan peristiwa lain yang mendahului, yang menyertai, atau yang terjadi kemudian. Korelasi antar peristiwa – tidak terkecuali dalam beristiwa masa lalu – adalah kenyataan yang tidak sedikit dijumpai dalam perjalanan sejarah di Malang Raya. Malang Raya sangat terkait dengan daerah lain, bahkan bisa dikatakan perjalanan dari entitas tersebut dalam masa suatu pemerintahan pernah berada dalam satu administrasi pemerintahan. Dan perilaku antar manusia di Malang Raya, baik secara individu maupun sebagai kelompok memiliki hubungan sejarah yang sangat erat baik dalam sosial, budaya dan religi.

Sikap budaya dari warga Malang menggambarkan sikap budaya yang terbelah – meminjam istilah “Split Personality (Kepribadian terbelah)” di dalam Psikologi. Ada kalanya sikap budaya mereka akomodatif, seperti terbuka bagi masuk dan berkembangnya budaya lain, kesediaan hidup berdampingan secara damai dengan warga budaya lain yang berbeda, toleran keterhadap perbedaan budaya di sekitarnya, dan sebagainya.
Namun ada kalanya mereka bersikap tertutup terhadap kemungkinan masuknya budaya lain, atau bahkan destruktif terhadap budaya lain yang berlainan dengannya. Sikap budaya yang demikian kurang relevan dengan realitas budaya di kawasan Malang yang heterogen. Mohammad Hatta pernah menulis bahwa di desa-desa sistem yamg demokratis masih kuat hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah kepemilikan tanah yang komunal, yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu mengadakan kegaiatan ekonomi.
Dengan demikian, struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesaia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa (Najib, 1996).

Ide awal demokrasi adalah menuntut pengikutsertaan rakyat dalam persetujuan umum dalam pencapaian keputusan dengan memelihara persetujuan bersama. Dengan demikian, tidak lain merupakan cerminan dari suatu hubungan sosial yang sangat mendasar yang ditemui di desa-desa di Indonesia dan pernah memberikan jaminan perlindungan serta merupakan keperluan paling mendasar bagi masyarakat desa. Keterkaitan sosial-ekonomi, yang diwujudkan dengan pemilikan tanah merupakan ciri utama ”demokrasi” yang tumbuh di desa-desa sebelum diawalinya zaman penjajahan Belanda. Demokratisasi tradisional desa yang dimaksud adalah kecenderungan masyarakat untuk tidak membatasi hubungan dengan berbagai kalangan, kepala negara yang tidak sangat bergantung pada orang-orang luar desa untuk mendapatkan bantuan atau petunjuk. Untuk nilai Ekonomis, desa juga mengajarkan bahwa kekayaan, meski tidak harus dibagikan sama rata tetapi ada norma-norma sosial yang membatasi polarisasi kekayaan secara besar.

Keberadaan Komite Komunitas memang condong berposisi layaknya civil society yang berupaya agar masyarakat memperoleh pengakuan dan letak-peran yang semakin kuat dalam kehidupan bernegara. Pengambilan posisi ini penting mengingat bahwa dalam konteks kekinian, civil society memiliki sederet aspek yang sangat penting bagi gerakan demokrasi secara lebih luas, yakni civil society sebagai kekuatan alternatif yang dapat menjadi motor bagi pembubaran kekuasaan pemerintahan dengan membentuk sejumlah pusat pemikiran, aksi, dan loyalitas. civil society diharapkan menambah atau menggantikan program-program pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat. Di dalam negara modern yang disokong oleh administrasi birokrasi yang ketat, kehadiran civil society diharapkan mampu menjadi mediator bagi munculnya konflik atau ketidakadilan birokrasi-negara terhadap individu dan keluarga. civil society diharapkan mendorong dan meningkatkan kreativitas bagi terjaminnya pemikiran-pemikiran independen. Disadari bahwa unsur kreativitas merupakan unsur penting bagi proses berlangsungnya demokrasi.
Read More …




Read More …

"Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama (Islam), fitrah (agama)Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah agama Yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dalam keadaan kembali kepadaNya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik,(yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka dan Jadilah merekabeberapa golongan; tiap-tiap golongan bangga dengan apa apa yang ada pada mereka. (QS. 30: 30-32)

Dalam khutbah menyambut Ramadhan Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa

pada bulan ini menyambungkan persudaraan, maka Allah akan menyambungkan

rahmat-Nya pada saat menemui-Nya.Barangsiapa pada bulan ini memutuskan tali persaudaraan, maka Allah akan memutuskan rahmat-Nya dari padanya pada saat berjumpa dengan-Nya.Barapgsiapa dengan sukarela mengadakan silaturrahmi, maka Allah akan menetapkan atasnya pembebasan dari neraka." Zoon Politicon sebagai idiom yang pernah dilekatkan oleh Aristoteles kepada manusia terpampang jelas di hadapan kita. Babakan-babakan sejarah yang menyertai manusia selalu bergerak mengikuti perannya sebagai makhluk komunal. Sebagai makhluk yang saling bergantung, manusia diantarkan untuk bekerjasama dalam hubungan sosial yang lebih luas, yang akan berpengaruh ke dalam pranata-pranata sosial dan budaya. Kehidupan sosial-faktor yang paling berpengaruh dalam perkembangan watak manusia-tidak dapat dibatasi hanya pada entitas material saja, melainkan oleh hasil dari suatu persatuan antarjiwa. Pada posisi inilah umat manusia mempunyai kesamaan. Tetapi, setiap kesamaan tidak selanjutnya melahirkan kesepakatan yang baik. Ini sangat ditentukan seberapa tulus dan ikhlasnya kesepakatan yang diambil. Kita sering melihat kesepakatan dan kompromi politik dan ekonomi yang terjadi di mana-mana berakhir dengan pengkhianatan. Bahkan menjurus pada perpecahan dan penghancuran.Dalam diri manusia unsur-unsur materi dan spiritual mempengaruhi kualitas insaniah. Jika nilai-nilai ini dicabut dari manusia, ia akan terperosok ke dalam derajat kehewanan. Insaniah manusia tidak akan terwujud hanya dengankonstruksi tubuhnya yang lengkap sebagaimana anggota badan. Sufi besar Sa'di berkata: Badan manusia mulia karena ruhnya Tubuh yang indah bukanlah tanda kemanusiaan Jika manusia itu (disebut) manusia Karena mata, telinga atau lidahnya Maka apa bedanya antara manusia dan gambar manusia di dinding

Kalau manusia di ukur dari konstruksi tubuhnya, maka semua yang dilahirkan oleh seorang ibu dapat disebut manusia. Namun, hal ini tidak tepat.Sesungguhnya, insaniah manusia diukur oleh serangkaian sifat dan etika tertentu yang karenanya la disebut “manusia”. Semua hal yang dapat meninggikan derajat dan kepribadian manusia inilah yang dinamakan

“nilai-nilai insni”. Setiap manusia yang mengingkari makna-makna kemanusiaan akan mengalami kejatuhan martabatnya Pada wilayah kemanusiaan ada dua bentuk penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh individu atau masyarakat. Pertama, penyelewengan-penyelewengan yang berbentuk penentangan terhadap nilai-nilai atau norma-norma insani, seperti kezaliman vis-a-vis keadilan,penindasan dan penjajahan vis-a-vis kemerdekaan, tidak bertuhan dan tidak terikat pada nilai-nilai insani vis-a-vis kebertuhanan dan keterikatan pada nilai-nilai tertentu, kejahilan dan kebodohan vis-a-vis akal, ilmu dan hikmah.

Kedua, penyelewengan yang terjadi bukan berupa pertentangan antar anti-nilai dengan nilai, namun antara nilai-nilai itu sendiri. Seperti kezuhudan-yang sebenarnya merupakan salah satu nilai insaniah manusia-yang kemudian tenggelam hanya pada keadaan itu saja tanpa menghiraukan tanggung jawab sosialnya. Itu juga penyelewengan.Wujud kemanusiaan ditentukan oleh besarnya tanggung jawab sosial keagamaan sebagai mandataris Allah di muka bumi. Muhammad Baqir al-Shadr ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30, "Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyampaikan kepada para Malaikat, Aku akan menciptakan Khalifah di muka bumi..." mengatakan frase ayat ini mengandungi empat kata yang penting: Rabb, alam, manusia dan khalifah. Rabb adalah pemberi amanah, Alam tempat turunnya amanah, dan manusia penerima amanah, khalifah adalah konsekwensi penerimaan perwakilan dari Tuhan.

Tugas penerima amanah melakukan harmonisasi hubungan kemanusiaan antara

manusia dengan manusia dan manusia dengan alam di atas hukum-hukum pemberi amanah. Kalau kemudian tugas ini terejawantahkan oleh penerima amanah maka gelar khalifah dapat disandangkan kepadanya. Jadi seorang khalifah Allah di muka bumi adalah mereka yang mampu melakukan dan menciptakan hubungan kemanusiaan dan hubungan kealaman secara harmonis di atas prinsip hukum-hukum Tuhan. Sayang, perilaku kita sehari-hari tidak konsisten terhadap nilai kebijakan Tuhan. Mulai dari pranata sosial yang lebih rendah sampai pada kehidupan yang lebih kompleks lagi. Hampir di semua lini kehidupan, kita tidak menemukan adanya upaya sinergis antarsesama manusia untuk mengembalikan manusia pada cahaya fitrahnya. Yang ada adalah kebohongan publik yang semakin transparan dilakukan oleh setiap kalangan. Pertanyaan para malaikat terhadap Tuhan pada waktu rencana penciptaan Adam boleh jadi sebagiannya terbukti. Kita lihat pertarungan kehendak hewani yang dipenuhi gejolak syahwat dengan kebenaran fitri yang bertumpu pada hati nurani menghiasi hampir seluruh berita. Setiap golongan, kelompok, sekte, dan partai-partai merasa benar sendiri dan tidak mengindahkan kelompok lainnya. Sejumlah pecundang (kaum hipokrit) bermain dalam setiap relasi konflik. Sadar atau tidak, kita telah menjadi bagian dari pelaku kemusyrikan.Setiap manusia yang ingin mendapatkan kehormatan di sisi para malaikat dan di hadapan Allah SWT sedapat mungkin harus memiliki kualitas kemanusiaan.

Betapa tidak manusia harus mempertaruhkan kebijakan Allah dalam proses

penciptaannya di hadapan parlemen malaikat. Kembali ke fitrah berarti kembalinya manusia kepada paradigma penciptaannya sebagai pemegang amanah ketuhanan di muka bumi. Fitrah yang di dalamnya unsur-unsur Rububiyyah Ilahiyyah bersemayam. Unsur yang mengandung cita rasa kemanusiaan, cinta kasih dan pengorbanan menuju kepada kebaikan. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Tidak menjadi: bagian dari golongan ku orang-orang yang mengaku Islam tapi tidak memliki kepekaan, perhatian, dan konsern terhadap sesamanya manusia.

Read More …

Indonesia Negaraku
Indonesia Bangsaku
Indonesia Negeriku
Indonesia Bahasaku
Sungguh luas lautanmu
Panorama Alammu yang begitu eksotis
Kebudayaanmu yang begitu beragam
Kekayaan Alammu yang begitu subur
Oh.......... Indonesia Ku
Sungguh Indah engkau di dunia ini
Tapi. . . . . . . .
Jauh di sana
Kemiskinan di mana-mana
Kelaparan yang selalu menghantui
Penggusuran merajalela
Kurupsi menjadi budaya-Mu
Ada apa denganmu. . . ???
Wahai INDONESIAKU TERCINTA !!!
Read More …

Adakah pendidikan yang bersifat netral ? Sepertinya kita sangat kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini. Secara konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja berpijak dan berpihak kepada suatu aliran filsafat-nya. Paradigma Pendidikan Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran Filsafat Skolastik yang cenderung determinis (jabbariah : fatalistik). Paradigma ini sangat fatalistik sebab hanya memahami suatu kondisi sosial sebagai "suratan takdir". Apa yang telah terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Di sini pula kita mendapatkan suatu kesalahan berpikir yang disebut dengan fallacy of retrospective determinism. Kesalahan berpikir yang hanya memahami suatu keadaan sosial sebagai kenyataan yang sudah seharusnya terjadi. Atau ketika kondisi seperti ini dipahami melalui paradigma pemikiran Paulo Freire lebih tepat disebut dengan "kesadaran magis" (magic conscious).
Untuk Paradigma Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari dasar filosofis-nya yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan yang melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan yang mengedepankan aspek pengembangan potensi, perlindungan hak-hak dan kebebasan (freedom). Paham individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan liberal. Sementara paradigma positivistik (empirisme) memiliki karakter khusus seperti empiris (indrawi), universalisme dan generalisasi melalui kumpulan-kumpulan teori (Schoyer, 1973). Akan tetapi Mazhab Positivisme telah terbantahkan melalui gagasan-gagasan dari Jurgen Habermas, seorang tokoh utama "Mazhab Frankfurt" (Frankfurt School). Kritik Habermas terhadap positivisme meliputi pertama; instrumental knowledge yang bertujuan untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi serta eksploitasi terhadap obyek. Kedua; hermeneutic knowledge yang bertujuan hanya untuk memahami saja. Dan ketiga; critical knowledge atau emansipatory knowledge yang menempatkan pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan manusia (Bottomore, 1984).
Pendidikan Kritis (Radikal) juga tidak lepas dari keberpihakan. Paradigma pendidikan ini menghendaki adanya perubahan sosial (social change) yang berkeadilan. Jadi tidak ada unsur yang dominan dan menindas dalam struktur sosial yang nantinya akan menyudutkan salah satu dari unsur sosial di dalamnya.Karena paradigma pendidikan tidak mungkin bersifat netral sama sekali, maka kemanakah pendidikan itu seharusnya berkiblat? Inilah sebenarnya persoalan yang paling signifikan dalam kaitannya dengan visi pendidikan. Hendak diarahkan ke mana keberpihakan pendidikan itu ?.Jika Prof. Proopert Lodge memiliki pandangan "live is education and education is live" (kehidupan itu adalah proses pendidikan dan proses pendidikan itu adalah kehidupan), sebenarnya antara pendidikan dengan proses kehidupan tidak ada bedanya. Adapun yang dimaksud dengan proses kehidupan adalah hubungan manusia dengan manusia lain yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi, kondisi serta struktur (tatanan) sosial yang akan memposisikan-nya dalam fungsi yang berbeda-beda. Kemudian proses kehidupan itu juga akan melahirkan tipe-tipe manusia yang berbeda-beda pula.
Jika saja kita menganalisa tipe-tipe manusia dengan menggunakan teori konflik, kondisi suatu tatanan sosial dihadapkan pada dua sisi yang saling kontradiksi. Realitas sosial akan menampakkan dua sisi yang saling berhadap-hadapan seperti adanya penguasa tentu di sisi lain ada yang dikuasai, ada kelompok kuat, tentu di sisi lain terdapat pihak yang lemah dan seterusnya. Inilah yang kami maksud dengan dua realitas yang saling kontradiksi itu.

Kondisi yang tidak berimbang sebab dominasi peran suatu kelompok dalam masyarakat kemudian melahirkan penindasan, tekanan-tekanan dan mungkin juga kekerasan fisik. Akibatnya struktur sosial yang ada hanya mewakili dari "sistem tuan dan budak". Kelompok lemah akan semakin tertindas dan hidup dalam keterbelakangan. Potensi-potensi manusiawi telah dinafikan akibat struktur yang membentuk antagonisme itu.
Bagi Paulo Freire, kondisi seperti itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setiap penindasan apapun bentuknya tetap dinilai tidak manusiawi (dehumanisasi). Oleh karena itu proses pendidikan harus memuat agenda untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Masyarakat yang tertindas itu nantinya hanya akan semakin tengelam dalam "kebudayaan bisu" (sub merged in the culture silence), yaitu suatu kondisi yang senantiasa dalam ketakutan dan ketidakberdayaan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, 2001). "Bahasa diam" kemudian menjadi semakin sakral dan harus selalu dihormati.
Ketimpangan sosial akibat dominasi peran (fungsi) dari sekelompok orang yang merasakan kenyamanan di atas penderitaan orang lain bukanlah kondisi yang harus dibiarkan begitu saja. Freire menggarisbawahi bahwa pendidikan harus bertujuan untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut atau tertekan akibat otoritas kekuasaan. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan untuk membebaskan kaum tertindas harus didasarkan atas semangat optimisme, sikap kritis dan resistent. Optimisme berarti merubah pola pikir masyarakat dari kesadaran magis (magic consciousness) yang sangat determinis itu. Sikap ini merupakan langkah awal untuk mengubah sistem yang ada karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki "kehendak" (will) dan "kebebasan" (freedom) untuk menentukan nasibnya sendiri. Karena itulah, seseorang harusnya optimis dalam menghadapi proses kehidupan ini. Semuanya penuh dengan "keserbamungkinan".
Sementara sebagai manusia yang normal pasti ia akan memilih kehidupannya yang terbaik.
Sikap kritis adalah langkah berikutnya bahwa seseorang harus mampu melihat secara analitis persoalan-persoalan realitas dan dirinya serta mampu memetakan persoalan sambil memahami unsur-unsur yang mempengaruhi (dominan) suatu kondisi sosial. "Kesadaran Kritis" (critical consciousness) merupakan faktor utama bagi seorang manusia untuk bisa membaca situasi sosial sekaligus dirinya. Penyadaran (konsientisasi) dengan puncaknya yakni "Kesadaran Transformative" (transformative consiousness) adalah tujuan dari pendidikan. Demikianlah maksud dari konsep pendidikan Paulo Freire (lihat William A. Smith, 2002).
Jelaslah sudah bahwa pendidikan yang tidak bisa netral itu harus berkiblat pada suatu visi. Dan visi tersebut telah kita temukan melalui konsep pendidikan kritis yang telah digagas oleh Paulo Freire. Pendidikan harus berbasis pada kerakyatan. Struktur sosial yang dilihat dengan kaca mata konflik harus dimulai dari lapisan paling bawah atau yang sering disebut sebagai masyarakat marginal. Visi kerakyatan ini merupakan arahan agar pendidikan kita mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang bersinggungan dengan otoritas suatu kekuasaan.
Pendidikan nasional untuk saat ini sepertinya semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi sekolah-sekolah tinggi semakin jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan. Saat ini pendidikan dikelola dengan menggunakan manajemen bisnis yang kemudian menghasilkan biaya yang melangit. Biaya pendidikan makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal (kapitalis). Dengan menggunakan label sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah panutan dan sebagainya biaya pendidikan semakin mencekik "wong cilik". Pendidikan kita semakin menindas terhadap kaum marginal. Di manakah letak keadilan pendidikan kita jika sekolah yang bermutu itu hanya untuk mereka yang punya uang saja ?.
Dengan biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau oleh masyarakat marginal, kita semakin berhadapan dengan persoalan penindasan gaya baru. Penindasan yang terselubung yang secara tidak langsung menciptakan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Inilah yang kami maksud dengan penindasan gaya baru itu. Rakyat lemah tidak lagi mampu mengenyam pendidikan bermutu akibat mahal-nya biaya pendidikan itu.
Para praktisi pendidikan kita sepertinya kurang mampu memahami kaum marginal yang serba kesulitan. Mereka lebih disibukkan dengan perdebatan-perdebatan teoritis tentang kebijakan tanpa memahami secara langsung kondisi masyarakat marginal itu. Kita tentunya masih ingat dengan kasus Haryanto, seorang murid Sekolah Dasar Muara Sanding VI Garut yang putus asa lalu bunuh diri dengan menggantung diri akibat tidak mampu membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler. Orang tuanya tidak mampu memberikan biaya kegiatan yang hanya sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Ia kemudian putus asa lalu menggantung diri. Inilah salah satu dari sekian potret kaum marginal yang serba dalam kesulitan. Untuk membiayai kegiatan sekolah sebesar dua ribu lima ratus rupiah saja terasa berat sekali, apalagi biaya pendidikan dengan jumlah ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah.
Sudah saatnya para pakar pendidikan nasional memahami persoalan yang kerap kali terlupakan ini.
Read More …

Read More …

Terlepas dari seluruh perdebatan mengenai system dan proses pendidikan yang ada di Indonesia, pada akhirnya kita mengakui bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dari evaluasi terhadap perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, setidaknya ada beberapa permasalahan esensial yang harus segera dibenahi . Berbagai masalah pendidikan ini antara lain:

1. Akses masyarakat terhadap pendidikan.
Permasalahan akses terhadap pendidikan, masih menjadi masalah yang cukup pelik Diakui atau tidak, pada kenyataannya penyebaran akses untuk mendapatkan pendidikan belumlah merata Fasilitas pendidikan belumlah dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Penyebabnya bisa beragam dari mulai tidak tersedianya fasilitas, penyebaran yang kurang merata hinggá masalah ketidakmampuan masyarakat dalam menjangkau mahalnya biaya pendidikan. Hal ini Sangay disayangkan mengingat pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin hak-hak pendidikan terutama pendidikan dasar.
Menurut data depdiknas tahun 2006/2007 jumlah peserta didik di tingkat sekolah dasar hanya berjumlah 17.589.180 dan jumlah ini terus menurun di setiap jenjang pendidikan berikutnya. Dari 619.535 ruang kelas yang ada di Indonesia, yang masuk ke dalam kategori baik hanya 273.844. Artinya lebih dari 50% ruang kelas yang ada di Indonesia mengalami kerusakan baik ringan maupun berat. Falta ini menunjukan bahwa masih ada ketimpangan fasilitas pendidikan yang memadai bagi peserta didik. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ditataran sekolah dasar yang oleh UU sisdiknas dikatakan gratis saja masih mengalami permasalahan.
Belum lagi mengenai penyebaran dan indeks pembangunan sekolah. Pembangunan sekolah belumlah dapat dikatakan merata.
2. Pemahaman mengenai pendidikan sebagai hak atau komoditas dan indikasi komersialisasi
Salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan adalah perbedaan pemahaman yang ada dalam memandang dunia pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO di beberapa daerah di Indonesia, terlihat ada kubu dalam menyikapi hal ini. Sebagian besar stakeholder menganggap bahwa pendidikan adalah alat atau komoditas yang ada harganya. Ini jelas sangat bernuansa ekonomis. Yang menarik bahkan masyarakat pun memiliki penilaian yang sama. Hampir tidak ada masyarakat yang merujuk pendidikan sebagai pelayanan yang cuma-cuma.
Kondisi ini menimbulkan dua implikasi terbesar. Pertama, bagi para penyelenggara pendidikan, pendidikan dijadikan barang privat yang tidak dapat dimiliki oleh semua kalangan. Pendidikan hanya boleh dinikmati oleh mereka yang memiliki uang untuk menanggung biaya pendidikan. Sehingga muncul adagium “orang miskin dilarang sekolah”. Implikasi kedua, persepsi masyarakat awam yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang pasti dan sudah sewajarnya membutuhkan biaya besar, pada akhirnya menyebabkan mereka cenderung pasrah menerima keadan. Masyarakat yang kurang beruntung tidak lagi memliki semangat untuk menuntut dan memperjuangkan hak mereka atas pendidikan. Lebih jauh lagi, jika menganalisis lebih dalam mengenai RUU BHP melalui teori pertukaran (excanghe framework) dan menggunakan tindakan sosial rasional nilai dimana tindakan ini menempatkan nilai sebagai tujuan yang akan dicapai dengan efektif dan efesien; baik nilai sebagai tujuan maupun nilai sebagai pendorong individu melakukan tindakan sosial, maka akan terlihat bahwa terdapat indikasi menuju komersialisasi pendidikan. Dalam teori pertukaran yang menjadi esensi adalah utilitarianisme dimana setiap individu secara rasional berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari pilihan tindakan sosialnya. Dalam RUU BHP diketahui bahwa pemerintah berharap lembaga pendidikan baik pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi mampu mandiri. Kemandirian inilah yang kemudian diejawantahkan pemerintah melalui dibukanya kanal-kanal investasi dalam bidang pendidikan.
Namun, saut hal yang mungkin dilupakan oleh pemerintah adalah perbedaan motivasi dari investasi yang dilakukan oleh tiap investor. Lembaga pendidikan luar negeri tentu memiliki motivasi mendapatkan laba melalui investasinya, sedangkan prinsip BHP adalah nirlaba. Dalam pengimplementasian BHP kelak, tentu akan sulit untuk membayangkan keuntungan dan laba apalagi selain keuntungan profit yang akan dikejar oleh para investor (asing terlebih), keuntungan profit inilah yang disebut sebagai keuntungan rasional. Sebagai contoh, pada tahun 2000 Amerika Serikat meraup keuntungan Rp 126 trilyun dari pendidikan. Hal ini menujukkan bahwa pendidikan sebagai komoditas pendidikan amat menggiurkan

3. Pembiayaan pendidikan
Masalah pendidikan yang lainnya adalah masalah pembiayaan pendidikan. Di dalam konstitusi Indonesia, telah diatur secara tegas mengenai kewajiban negara untuk menyisihkan 20% dari APBN dan APBD untuk membiayai pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Namun pada kenyataannya pemerintah telah melakukan empat kali pelanggaran terhadap konstitusi. Padahal adanya klausul 20% ini jelas bukan tanpa alasan. Memang banyak kalangan yang menilai bahwa tidak semestinya sebuah konstitusi mengatur jumlah anggaran. Namun konstitusi sebagai resultante (kesepakatan masyarakat) haruslah mampu mengakomodir kebutuhan rakyat. Pencantuman angka 20% ini betapapun tidak lazim, tetapi bukan berarti tidak ada negar yang mencantumkan ini dalam UUD-nya. Sebagai contoh Cina-Taiwan secara tegas mengatur jumlah alokasi anggaran untuk pendidikan dalam konstitusi mereka. Anggaran 20% ini betapapun bersifat imperativ, oleh karenanya ia merupakan kewajiban negara yang tidak dapat ditunda-tunda.
Namun realita di lapangan menunjukan kondisi yang berbeda. Hingga saat ini belum pernah sekalipun Indonesia memenuhi amanah konstitusi terkait dengan pembiayaan pendidikan sebesar 20% dari APBN, bahkan kecenderungan yang terjadi adalah anggaran pendidikan tidak sesuai dengan target yang diinginkan.
Dengan demikian kita memang masih memiliki PR yang harus diselesaikan dalam masalah pendaan dunia pendidikan. Meskipun UU Sisdiknas telah mengamanahkan bahwa pendidikan dasar sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, namun pada tahap implementasi masih banyak pungutan-pungutan yang dilakukan pihak sekolah dengan alasan keterbatasan dana.

1. Masalah indepensi lembaga pendidikan
Isu krusial yang hangat dibicarakan saat ini adalah masalah kemandirian yang harus dimiliki oleh sebuah institusi pendidikan. Pada dasarnya kita sepakat bahwa dalam melaksanakan proses belajar dan mengajar, lembaga pendidikan membutuhkan kebebasan dalam hal kurikulum agar muatan-muatan kebutuhan lokal dapat tersampaikan dengan baik. Kita pun sepakat bahwa institusi pendidikan membutuhkan menejemen yang berkualitas baik dalam hal pengelolaan SDM, fasilitas, pendanaan maupun output yang dihasilkan dari proses pengajaran itu sendiri.
Dalam dua dekade terakhir terutama setelah globalisasi digaungkan, isu mengenai kemandirian pendidikan terutama perguruan tinggi menjadi topik yang terus di bahas. Akibat adanya diversifikasi pendidikan, pemerintahan melakukan reformasi dalam bidang pendanaan dan menejemen. Maka munculah ide menejemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi. Kita sepakat bahwa untuk menjamin mutunya institusi pendidikan memang harus diberikan kemandirian, namun yang jadi masalah kemandirian yang seperti apa yang harus dilakukan untuk menjamin mutu pendidikan dengan tidak melupakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kemandirian yang dimaksud tentunya memang mengurangi intervensi negara tapi bukan berarti negara dapat lepas tangan.

2. Kerancuan hukum
Permasalahan dalam dunia pendidikan yang juga cukup fatal adalah masalah hukum, terutama dalam perguruan tinggi. Di lihat dari sudut pandang institusi pendidikan swasta, terdapat dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan antara pengurus yayasan dengan pelaksana satuan pendidikan. Seringkali terjadi kericuhan dan ketidaksepakatan antara pengurus dan unit pelaksana pendidikan. Hal ini menyebabkan independensi dari institusi pendidikan teracam. Permasalahan lain yang muncul adalah UU.No.16 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai ranah pendidikan yang didirikan oleh yayasan. Yayasan hanya diperbolehkan mendirikan badan usaha. Kekhawatiran yang muncul yaitu ketika yayasan justru menggunakan lembaga pendidikan sebagai badan usaha untuk mendapatkan keuntungan.
Dari sudut pandang Perguruan Tinggi Negeri, terutama yang berstatus BHMN adalah permasalahan payung hukum. Seperti telah diketahui bahwa dasar pendirian dari PT BHMN adalah peraturan pemerintah, padahal PP merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang dan dalam UU Sisdiknas No.2 tahun 1989 tidak diatur mengenai BHMN. Permasalahan status BHMN ini pun menimbulkan prahara tersendiri, karena tidak diatur secara jelas maka BHMN menjadi badan hukum yang memiliki beberapa masalah.
Read More …

Secara sosiologis, sejatinya kekeraan sudah sngat mengakrabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Peneyelesaian konflk selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasanyang kerap terjadi bukan hanya di lakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat tertapi juga oleh aparat negara. Menurut Johan Galtung (2003) kekerasan di bagi menjadi tiga tipelogi yaitu kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event), kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen, kekerasan dan kekerasan struktural adalah sebuah proses. Sementara menurut Ted Robert Gurr, kekerasan muncul karena deprivasi relative yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relative dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectations) dan kapabilitas nilai (value capabilities).
Jika teoru Galtung maupun Ted Robert Gurr dijadikan pisau analisis, maka kekerasan dalam dunia pendidikan kita sudah memenuh jenis kekerasan tersebut. Pertama, kekerasan langsung yang menghujam pada unsure utama bangunan pendidikan kita, yakni pelaku utama pendidikan. Kekerasan ini bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang lan. Kedua, bentuk kekerasan structural sekaligus cultural. Kekerasan ini terjadi pada unsur pelaku utama pendidikan, yang mewujudkan dalam kerangkan pendidikan. Pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan.
Hanya dalam hitungan hari kekerasan dalam dunia pendidikan terjadi. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan Tinggi. Kabar mengenai kekerasan di dunia pendidikan sering terjadi di mana-mana dan disiarkan/diberitakan media massa. Secara keseluruhan pada tahun 2007 menurut komnas perlindungan Anak (KPA) 42 persen pelaku kekerasan fisik terhadap anak di domnasi oleh Guru. Sebuah fenomena yang sangat tragis dan mengejutkan, hukuman fisik bagi siswa sangat tidak di benarkan. Dr. Seto Mulyadi salah seorang ketua KPA menyatakan bahwa sekitar 80 hingga 90 persen anak-anak di Indonesia masih belum mendapatkan hak pendidikan, karena sejatinya itu adalah hak bukan suatu kewajiban. Sementara berjuta anak Indonesia yang mengeyam bangku sekolah merasa terpaksa dan mendapatkan suasani sekolah yang tidak menyenangkan. Padahal, proses belajar yang efektif bakal muncul dari kondisi dan suasana belajar yang menyenangkan.
Di era reformasi saat ini perlu direnungkan apakah kita masih membutuhkan system pendidikan semi militer dengan kekerasannya untuk mendidik siswa. Pada saat era ORde Baru, model pendidikan ini menjadi idola karena system pemrintahan bersifat TOP DOWN sehingga pendidikan pun harus berkiblt pada pola tersebut. Nampak bahwa pendekatan pendidikan yang di terapkan di sebut pendekatan top down atau dari atas ke bawah dengan karakter dasar mendikte. Pendekatan seperti ini berasumsi bahwa pendidikan adalah pusat kebenaran dan pengetahuan lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat di bantah.
System pendidikan corak ini memang cocok diperuntukkan dalam system pendidikan meiliter. Metode pendidikan seperti in juga mirip dengan metode yang di pakai untuk mendidik anjing. Anjng didik oleh tuannya dengan system reward dan punishmen, agar si anjing tunduk dan setia pada tuannya.
Read More …

A. Wewenang pendidikan

Pendidikan merupakan sesuatu yang niscaya dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia akan mengembangkan potensi kemanusiaannya secara serampangan, tanpa arah dan tujuan jelas. Demikian pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia, sehingga pendidikan saat ini menjadi “barang” yang mahal.
Salah satu fenomena pendidikan yang layak dicermati dewasa ini adalah bergesernya tujuan pendidikan dari pengembangan potensi menjadi sarana untuk memperoleh social effect. Dalam pengertian ini, seseorang mengikuti pendidikan untuk kepentingan memperoleh status social yang layak.
Pendidikan telah disadari secara benar sebagai wewenang dan tanggung jawab untuk memanusiakan manusia. Mansoour Fakih secara tegas berpandangan, setiap kegiatan politik, ekonomi, maupun social yang bertujuan untuk menghalangi, ataupun akan menyebabkan anggota masyarakat tidak mendapat pendidikan, maka hal ini bisa di kategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Untuk itu diperlukan pengertian, pemahaman, dan kesadaran bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan wewenang dan tanggung jawab. Dengan adanya kesadaran bahwa pendidikan adalah wewenang dan tanggung jawab, maka pendidikan dengan sendirinya akan mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan, baik dari aspek software (tujuan, kurikulum dan prosesnya) maupun dari perangkat hardwere (unsure sarana-prasarana serta unsure-unsur humanismenya.
Pendidikan sebagai perwujudan, bila dilakasanakan secara wajar akan melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, baik secara intelektual maupun moral spiritual. Dengan demikian akan lahirlah sosok-sosok manusia yang mampu menempatkan dirinya, baik secara individu maupun makhluk social.

B. Tanggung Jawab Pendidikan
Pihak yang paling bertanggung jawab atas dunia pendidikan adalah negara atau pemerintah. Karena, konstitusi membebankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada pemerintah. Sayangnya, sejak merdeka hingga kini, pemerintah belum tampak sungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan. Indikasi paling menyolok adalah minimnya anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan tidak pernah lebih dari 7% dari total pengeluaran pemerintah. Sementara anggaran pendidikan di negara-negara jiran seperti Malaysia mencapai 23%, Singapura 19%, Thailand 22%, dan Filipina 20%.
Implikasinya, fasilitas dan sarana-sarana penunjang kegiatan kependidikan sangat kurang. Para guru pun hidup di bawah kelayakan. Padahal kepada mereka harapan perbaikan pendidikan ditumpukan. Kenyataan itulah yang selanjutnya melahirkan anak-anak bermasalah yang resultannya adalah rendahnya kualitas SDM dan kinerja bangsa yang lemah.
Di sisi lain, mandulnya kurikulum karena tidak berorientasi pada penumbuhan kemampuan berpikir peserta didik agar secara kreatif menyiasati masa depannya, dan tidak terbentuknya karakter kejiwaan yang unggul, mengarahkan pendidikan nasional pada kecenderungan negatif.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, kemudian berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orangtua memberikan setoran kepada sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para pengajar itu membagikannya kepada birokrat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan pamornya.
Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi. Karena tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari tiga dekade terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan mudah dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan karena buta pikiran dan buta nurani.
Read More …

Kebijakan pemerintah untuk meliberalisasikan pendidikan dikritik dan dikecam keras oleh sebagian besar pembicara dalam Konferensi Nasional Pendidikan Nasional dalam Arus Neoliberalisme di Bandung, yang berakhir Minggu (15/5) malam. Liberalisme dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa yang terjajah.

Sejumlah pembicara juga menyerukan dibentuknya jaringan dan kekuatan bersama untuk menentang upaya-upaya pemerintah melakukan liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan.

Anggota Komnas HAM Dr Habib Chirzin menilai, negara telah gagal memenuhi kewajiban dalam pendidikan yang menjadi hak dasar warga negara, bahkan dalam penyediaan anggaran pendidikan sekalipun. Chirzin mengingatkan bahwa kewajiban pemerintah mengalokasikan 20 persen dana dari APBN merupakan kewajiban minimal yang harus dipenuhi, bukan suatu hal yang dicita-citakan.

Komodifikasi pendidikan, menurut Chirzin, akan memarjinalisasikan rakyat miskin. Padahal, konstitusi mewajibkan negara untuk menyediakan pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi secara ekonomi. Hak atas pendidikan, kata Chirzin, merupakan hak asasi manusia yang menjadi prasyarat pelaksanaan hak asasi manusia lainnya, seperti hak sosial dan hak politik warga negara.

"Pengingkaran hak atas pendidikan akan mengakibatkan seseorang tidak bisa sekolah, tidak bisa mengembangkan diri, tidak bisa bekerja, dan teralienasi dari skema-skema sosial," kata Chirzin, alumnus Pondok Pesantren Gontor.

Pakar ekonomi Prof Dr Sri- Edi Swasono mengemukakan, liberalisme pendidikan merupakan bagian dari Komitmen Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia. Bila pendidikan dipahami sebagai komoditas, terjemahannya adalah seseorang yang tidak bisa membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah.

"Bila liberalisme pendidikan dilakukan, 30 tahun lagi bangsa Indonesia akan menjadi seperti suku Aborigin," katanya.

Komoditas = hukum pasar

Ekonom Ichsanuddin Noorsy juga mengemukakan keprihatinannya atas kegagalan negara memenuhi kewajibannya dalam bidang pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah pusat maupun daerah tidak sesuai dengan konstitusi. Dari sebuah studi yang dilakukan di 100 kabupaten/kota, realisasi anggaran pemerintah daerah pada 2001 rata-rata hanya 3,4 persen. Jauh dari angka 20 persen yang diamanatkan konstitusi.

Menurut Ichsanuddin, bila pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, pendidikan akan diatur sesuai hukum pasar. Meningkatnya permintaan pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. "Akhirnya, hanya orang kaya yang bisa bersekolah," ujarnya.

Beasiswa untuk orang miskin atau subsidi silang, kata Ichsanuddin, merupakan program karitatif dalam sistem neoliberal. Program karikatif menunjukkan kegagalan sistem ekonomi neoliberal. Dalam praktiknya, jumlah siswa yang diberi beasiswa amat sedikit dan orang miskin belum-belum ketakutan untuk mencoba masuk sekolah dan perguruan tinggi yang mahal.

"Liberalisme pendidikan merupakan kebijakan yang menjual kedaulatan bangsa untuk menjadikan rakyatnya cerdas," kata Ichsanuddin.

Advokasi pendidikan

Rektor Universitas Islam Negeri Malang Prof Dr Imam Suprayogo menilai, pendidikan selama ini tidak diurus secara serius sehingga terus merosot. Kemerosotan mutu pendidikan itu juga terjadi di perguruan tinggi. Mutu pendidikan tinggi dengan kuliah reguler pun rendah, kini perguruan tinggi berlomba-lomba membuka program ekstensi malam, kelas Sabtu-Minggu, bahkan tanpa kuliah tatap muka sama sekali.

Imam mengemukakan, pendidikan sebaiknya tidak diliberalisasi. Kebijakan yang seharusnya diambil pemerintah adalah melakukan advokasi pendidikan dengan membenahi gedung-gedung sekolah yang ambruk, meningkatkan kesejahteraan guru, dan lain-lainnya. Liberalisasi pendidikan bisa saja dilakukan, tetapi hanya pada kelompok masyarakat tertentu yang mampu.

Aktivis perempuan Dr Musda Mulia mengemukakan perlunya perubahan total visi pendidikan di Indonesia. Senada dengan Imam, Musda juga mengemukakan perlunya advokasi pendidikan untuk kelompok-kelompok marjinal. Untuk membendung arus neoliberalisme dalam pendidikan, Musda menyarankan agar membangun kampanye antineoliberalisme dan membuat jaringan kerja advokasi pendidikan. (wis)

Read More …

Bila kita mempelajari sejarah pendidikan di tanah air, maka setidaknya bisa dibedakan dalam empat rentang waktu, yakni: masa raja-raja lokal-prakolonialisme, masa kolonialisme Hindia Belanda-prakemerdekaan, masa Orde Lama, dan masa Orde Baru.

Pada masa raja-raja lokal-prakolonialisme, pendidikan mungkin hanya dikenal oleh kaum bangsawan dan keluarga raja-raja baik di kerajaan Mulawarman di Kalimantan (400 sM), Purnawarman di Jawa Barat (450 sM), Sriwijaya, Kediri, Singosari, maupun Majapahit dan Mataram. Corak pendidikan pada masa itu boleh jadi tidak berbeda jauh dengan sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan manapun yang merupakan perpaduan antara pendidikan agama (Hindu dan Budha) dan pendidikan bagi para kerabat elit politik dan kroni kerajaan. Tidak banyak catatan yang dapat kita jadikan rujukan untuk memahami hal ini lebih jauh.

Pada masa kolonialisme, yang dimulai dengan masuknya Portugis disusul Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis, sekolah-sekolah umum diselenggarakan dalam rangka melestarikan penjajahan. Politik pendidikan kolonial Hindia Belanda, sejak VOC datang di awal abad ke XVII, bahkan sangat efektif melestarikan strategi pemecahbelahan setiap komponen masyarakat yang berpotensi untuk bersatu menentang kepentingan ekonomi dan politik penjajahan. Dan selama 300 tahun kekuasaan Hindia Belanda, trilogi pemerintahan yang terfokus pada educatie, irrigatie, dan emigratie (pendidikan, irigasi/pertanahan, dan transmigrasi) telah menegaskan bagaimana sistem pendidikan telah dipolitisir untuk pro status quo. Beberapa lembaga pengajaran yang khususnya mengajarkan bahasa Melayu adalah Sekolah Militer di Semarang (1819), Institut Bahasa Jawa (1832) dan Sekolah Guru Bumiputera atau Kweekschool (1852) di Surakarta.

Harus diakui bahwa “Politik Etis” yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk “menebus dosa” dan meringankan “guilty feeling” mereka, masih sangat diskriminatif, setidaknya bagi kelompok Bumiputera yang Islam. Seperti dikatakan Nurcholish Madjid, umat Islam akhirnya mendirikan pesantren-pesantren dibawah pimpinan ulama dalam suasana kejiwaaan atau mindset “berjuang melawan” (fight against) kolonialisme Belanda. Pendidikan pesantren ini umumnya sangat kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi hanya berkonsentrasi pada ilmu-ilmu agama saja. Baru ketika “Politis Etis” di bidang pendidikan berhasil melahirkan elit baru Bumiputera terpelajar yang mempelopori pendidikan Islam modern lewat gerakan Muhammadiyah-nya K.H. Ahmad Dahlan (dimulai dari Kauman, Yogyakarta, 1912) maka “pendidikan Islam” mengalami perkembangan yang signifikan.

Juga harus diakui bahwa sekalipun pelaksanaan “Politik Etis” di bidang pendidikan masih sarat dengan kepentingan politik kolonialisme Belanda, namun terbukti sistem pendidikan waktu itu mampu melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Angkatan 1928 lainnya. Mereka inilah yang kemudian menjadi motor penggerak dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sejak masa Orde Baru dimulai dan sampai hari-hari ini sistem pendidikan kita juga agaknya masih belum banyak berkembang. Seperti banyak disinyalir oleh pakar pendidikan negeri ini, sistem pendidikan Orde Baru telah “sukses” dipolitisir untuk kembali menjajah jiwa rakyat banyak. Pola pendidikan yang militeristik, penuh upacara dan penyeragaman dimana-mana, telah membuat kaum muda terpasung tak berdaya. Tepatlah apa yang pernah dikatakan oleh Romo Mangunwijaya, bahwa generasi kita saat ini lebih terbelakang dari generasi Soekarno-Hatta-Syahrir. Atau dalam bahasa Sindhunata, pendidikan selama Orde Baru hanya melahirkan air mata. Lembaga-lembaga pengajaran yang ada terlalu banyak dimanajemeni, tetapi sangat kurang dipimpin. Sekolah dan universitas telah diubah menjadi sama dan sebangun dengan pabrik-pabrik konglomerat yang memproduksi benda-benda serba seragam dan tidak memiliki kreativitas karena tidak pernah diberi kebebasan yang memadai untuk memanusiawikan dirinya sebagai satu-satunya ciptaan yang diciptakan Sang Pencipta dengan dianugerahi daya cipta. Sebagian pakar pendidikan bahkan tidak ragu mengatakan sistem pendidikan kita lebih terbelakang dibanding sistem pendidikan kolonial Belanda, khususnya setelah Politik Etis di berlakukan. Mereka yang pernah ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang Orde Baru tidak pernah mampu menghasilkan kebijakan yang memungkinkan lahirnya calon-calon pemimpin bangsa sekaliber angkatan 1928

Runtuhnya Orde Baru setidaknya menggugah kembali harapan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, yakni sistem pendidikan yang membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan. Utamanya diharapkan agar reformasi politik dan ekonomi dapat dicapai dengan juga melakukan reformasi dan transformasi di bidang pendidikan. Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan yang masih relatif muda, bahkan menegaskan bahwa reformasi seharusnya dimulai dari pendidikan. Seminar yang melibatkan Majalah Basis, Universitas Sanata Dharma, Penerbit Kanisius, Yayasan Pendidikan Kanisius, dan Ford Foundation, di Yogyakarta, Agustus 2000, juga mencoba menelusuri jawaban terhadap pertanyaan yang akan dijadikan tajuk buku Quo Vadis Pendidikan di Indonesia? Lalu Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) IV yang berlangsung di Jakarta, September 2000, juga menyiratkan berbagai harapan agar sistem pendidikan nasional dibenahi secara mendasar.

  1. A. Penjara Itu Bernama Sekolah

Jika di amati secara seksama, memang nampak secara fisik sekolah-sekolah di Indonesia mirip bentuk bangunan penjara yang sesungguhnya. Pada umumnya, sekolah-sekolah kita merupakan bengunan kokoh, berbentuk ruangan yang di batasi empat tembok (ruang segi empat), minim ventilas-untuk mengatakan tidak ada, dan sekelilingnya di batasi pagar yang tinggi menjulang.

Sementara, sistem pendidikan kita memperlakukan sswa layaknya robot. Dengan pola yang kaku dan mengekang seperti ini, menganggap otak anak-anak kosong, sehnggah arus dijejali dengan berbagai hafalan meteri pelajaran. Pola semacam ini sudah sejak lama dikecam oleh Paulo Freire karena menempatkan posisi siswa pada subordinat. Feire menyebutkan sistem pendidikan tersebut sistem “bejana kosong”. Rutinitas di sekolah tidak pernah berubah; anak pergi kesekolah harus membaw koper berisi begitu banyak buku, sampai di rumah harus mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Siklus semacam ini berlangsung terus setiap hari. Belum lagi jika harus mengikuti kursus sempoa, musik, baca tulis iqra’ ballet dan sebagainya. Siswa menjadi terbebani oleh sekian banyak rutinitas pelajaran dan tugas yang sangat berat. Sedangkan Kalau kita melihat dari asal kata sekolah atau school, sejatinya bersal dar bahasa latin “scola’ atau “scolae” yang dipergunakan sekitar awal abad XII. Secara harfiah kata scola atau scolae bermakna “waktu luang”. Konon dahulu di yunan kuno, penduduk di sana menggunakan waktu luangnya untuk mengunjungi (silaturahmi) tempat para cerdik pandai atau orang yang memilik hikmah, guna menyakan berbaga hal ikhwal kehidupan. Mulai dari permasalahan sosial, agama (kepercayaan), ilmu bahasa dan berpidato (orator), sastra, teknik perang, dan segalam macam pengetahuan yang berguna bagi kehidupan.

Lantaran sekolah menjelma menjadi penjara yang tak layak didiami, menurut ivan Illich bakal muncul fenomena de-schooling society, kata pendidikan di sekolah sudah carutmarut dan cendrung militertik, segera keluar dari lembaga pendidikan tersebut adalah sesuatu hal yang sangat di anjurkan. Sebab berlama-lama di dalam pendidikan yang demikian akan semakin memperburuk suasana keadaan. Anak didik akan kian bodoh dan tidak bisa berpikir cerdas. Kurikulum pendidikan dasar di Indonesia tidak terlalu padat sehingga tersisa ruang ekspresi dan kreatifitas bagi siswa. Hal ini sejalan dengan semangat visi dan misi pendidikan nasional yang bertujuan mengembangkan segenap potensi siswa, bukan sebaliknya ingin menciptakan robot (sumberdaya manusia penurut)

Terkait mengelola sistem persekolahan, mestinya kit belajar dari filandia. Di sana, siswa menempuh belajar hanya 30 jam per minggu. Sedangkan di korsel 50 jam. Sementara siswa Indonesia menghabiskan waktu di sekolah jauh lebih banyak dibangdng murid Filandia. Di samping itu guru di Filandia merupakan guru-guru yang berkualitas. Gaji mereka tidak fantastis, tetapi profesi mereka sangat di hargai. Guru di negeri itu tidak pernah mengkritik siswa yang gagal tetapi terus mendorong siswa bisa bekerja indepanden. Kegagalan siswa juga menjadikan guru intropeksi, apa yang salah dengan sistem pendidikan.

  1. B. Ada Pembodohan di sekolah

Pendidikan merupakan proses sekaligus sistem yang bermuara dan berujung pada pencapaian kualitas manusia yang dianggap ideal. Selain itu pendidikan diyakin mampu mengubah pranata sosial, budaya dan politik, bahkan peradaban sebuah bangsa. Bisa di bilang kemajuan peradaban sebuah bangsa, ditentukan sejauh mana pendidikan itu berfungsi. Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Singapura, dan Malaysia, pendidikan menjadi prioritas utama.

Bagaimana dengan Indonesia? Nampaknya pemerintah kita masih disibukkan oleh persoalan siapa yang duduk di kursi pemerintah.manajemen pendidikan yang semrawut berujung pada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) kita. Dalam Human Development Index/HDI laporan UNDP 2000 indonesia berada di posisi 109; Filpina 77; Thailand 76; Malaysia 61; Brunai Darusssalam 32; Korea Selatan; 30; dan singapura 24. Bahkan tahun 2003 laporan UNDP Indonesia menurun berada di posisi 112 dari 175 negara. Kondisi tersebut sudah terjadi tujuh tahun silam dan menurut para ahli, jika mutu pendidikan Indonesia tidak segera ditingkatka, bisa jadi angka-angka tersebut mengalami kenaikan dan Indonesia jelas dalam level yang amat rendah. Sekolah tak mampu menghasilkan manusia yang tangguh menghadapi tantangan,baik moral maupun intelektual. Timbul wacana yang berkembang dalam masyarakat kita bahwa, “jika ingin pintar jangan sekolah, tetapi cukup belajar saja”.

Kegiatan persekolahan kenyataan justru hanya melangsungkan praktik pembodohan.persoalan ini lebih banyak disebabkan oleh orientasi pendidikan kita yang cendrung memperlakukan siswa sebagai objek atau klen. Guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject oriented sementara manajemen bersifat sentrlistik. Proses pembelajaran di dominasi dengan tuntunan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi test atau ujian, di mana siswa harus mengeluarkan apa yang telah di hafalkan kenyataan in sangat bertentangan dengan kondisi psikologis siswa. Menurut martin seligement dalam Stolz (2003), proses transfer pengetahuan bakal efektif jika melalui “gaya belajar” siswa sendiri.

Perilaku pembodohan yang tersistematis dalam sistem pendidikan nasional juga tampak dalam pergantian dan perubahan kurikulum, materi pelajaran, distribusi informasi, inovasi pembelajaran, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, biaya buku, rendahnya penghargaan terhadap guru, pemalsuan ijazah, penjualan gelar.

By : Mulla

Read More …